Bisnis.com, JAKARTA - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyebutkan setidaknya ada 347 peraturan daerah (perda) yang bermasalah dan memiliki potensi menghambat investasi.
Berdasarkan kajian KPPOD tersebut, ditemukan bahwa 235 perda yang bermasalah adalah terkait dengan pajak dan retribusi daerah, 63 terkait dengan perizinan, 7 terkait dengan masalaha ketenagakerjaan, dan 42 perda dengan urusan lain-lain. Banyak di antara perda-perda tersebut bermasalah dalam aspek yuridis, substansi, hingga prinsip.
Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mengatakan bahwa permasalahan ini tidak terlepas dari banyaknya peraturan pada level pusat mulai dari UU hingga Peraturan Menteri (Permen) yang saling bertentangan.
"Rezim sektoral masih kuat sehingga terjadi disharmoni membingungkan penerjemahan baik oleh pemerintah daerah maupun dunia usaha. Kepastian berusaha sulit diperoleh apabila tidak ada kejelasan regulasi," ujar Robert, Rabu (20/11/2019).
Akibat regulasi pada level pusat yang bertentangan, pemerintah daerah pun menjadi enggan menyesuaikan perda yang ada dengan regulasi yang baru dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Pada level daerah, KPPOD menilai komitmen politik lembaga legislatif dan eksekutif di daerah masih kurang sehingga cenderung kontraproduktif dengan semangat peningkatan iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Perda yang bermasalah pada akhirnya menimbulkan dampak ekonomi yang negatif atas daerah terkait. Perda yang disahkan juga cenderung menjadi instrumen politik ormas hingga politisi daerah untuk mendapatkan keuntungan pribadi sehingga menimbulkan ketidaknyamanan atas dunia usaha.
"Ada perda yang mewajibkan adanya kuota tenaga kerja lokal, ini akan digunakan oleh ormas untuk menekan usaha agar menggandeng tenaga kerja lokal," ujar Robert.
Lolosnya perda-perda bermasalah yang bertentangan dengan aturan pada level pusat pun tidak terlepas dari bermasalahnya proses review dari Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah provinsi. Dua institusi tersebut hingga saat ini masih belum memiliki mekanisme yang memadai untuk mengevaluasi rancangan perda.
Dalam rangka menyelesaikan permasalahan ini, Robert mengatakan perlu ada langkah perbaikan regulasi baik pada level pusat maupun di daerah.
Pada level pusat, Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja yang saat ini sedang terus dikebut oleh pemerintah kemungkinan besar bakal bisa menyelesaikan masalah tumpang tindih antaraturan di berbagai sektor.
Kedua, perlu ada kebijakan one in one out policy di mana kementerian atau lembaga pada level pusat wajib mencabut satu regulasi apabila ada regulasi baru yang dikeluarkan. Hal ini bakal mengurangi potensi disharmoni antaraturan yang selama ini terjadi.
Ketiga, pemerintah perlu membentuk Badan Regulasi Nasional yang secara struktural berada langsung di bawah presiden dan memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan dalam satu atap.
Keempat, pemerintah perlu segera melembagakan penggunaan analisis dampak regulasi untuk membantu penyusunan dan evaluasi regulasi.
Pada level daerah, ekosistem kerja dan komitmen politik dari kepala daerah dan DPRD perlu diperbaiki agar perda yang dihasilkan mampu menghasilkan dampak yang positif bagi perekonomian daerahnya masing-masing.
Kedua, kapasitas SDM pada birokrasi di daerah perlu diperbaiki dengan sistem rekrutmen SDM yang berbasis pada sistem merit. Selama ini, perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah cenderung tidak berkualitas karena tidak terlepas dari rendahnya kapasitas SDM.
Ketiga, perancangan perda harus menggunakan alat analisis dan juga bisa digunakan untuk mengevaluasi perda yang sudah terbit.
Perda yang dikeluarkan harus mampu meningkatkan realisasi investasi di daerah yang pada akhirnya bisa menciptakan multiplier effect dan meningkatkan daya beli masyarakat dari daerah terkait.