Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai harus berani mengubah pola pikir dari penghindaran risiko (risk avoidance) menjadi pengelolaan risiko (risk management) terkait dengan aturan terbang malam untuk helikopter.
Konsultan penerbangan dari CommunicAvia Gerry Soedjatman mengatakan penerbangan malam sudah jamak diterapkan di negara lain, sedangkan Indonesia masih enggan untuk diberlakukan. Aturan tersebut sebenarnya sudah dibahas sejak 5 tahun lalu, tetapi belum ada langkah konkret dari pemerintah.
"Pola pikir pemerintah harus berani beralih dari risk avoidance menjadi risk management. Jangan hanya takut pada risiko, tetapi berupaya untuk mengendalikannya," kata Gerry, Minggu (17/11/2019).
Dia menambahkan isu sistem pencahayaan (lighting system) di gedung bertingkat maupun menara BTS sebenarnya sudah menjadi pembahasan tahun-tahun sebelumnya. Padahal, standar penerapan pencahayaan sudah ada dalam regulasi.
Menurutnya, perlu ada peran pemerintah daerah untuk melakukan penegakan aturan agar pemilik gedung maupun menara bisa memasang sistem pencahayaan yang memadai. Hal tersebut bukan menjadi domain Kementerian Perhubungan.
Gerry menyebut sistem pencahayaan bukan menjadi masalah utama. Kemenhub cukup membuat regulasi yang memenuhi aspek keamanan dan keselamatan untuk terbang malam.
Baca Juga
Misalnya, helikopter yang hendak melakukan terbang malam paling rendah berada pada ketinggian 500--1.000 kaki atau di atas 1.000 kaki pada saat menempuh penerbangan (cruising). Sementara, saat hendak mendarat helikopter memiliki lampu sorot yang bisa digunakan untuk mengetahui kondisi sekitar secara visual.
"Tinggal dikasih ketentuan minimalnya saja, tidak mungkin helikopter terbang malam di ketinggian 50 kaki. Saya tidak paham mengapa sampai sekarang Indonesia belum memperbolehkan terbang malam, ini bisa memperlambat kemajuan industri penerbangan," ujarnya.