Bisnis.com, JAKARTA – Nasib dua pasar properti terpanas di Asia kini berbeda. Singapura bercokol di peringkat 1 untuk prospek investasi real estat dalam hal kenaikan harga pada tahun 2020.
Sebaliknya, Hong Kong, yang terpukul aksi protes protes anti-pemerintah selama berbulan-bulan, terjun ke urutan paling bawah.
Menurut laporan Urban Land Institute dan PricewaterhouseCoopers LLP untuk tren properti di kawasan Asia yang dirilis pada Selasa (12/11/2019), Singapura memeroleh keuntungan dari meningkatnya minat di kalangan investor.
Banyak investor menghindari China dan Hong Kong, yang dipandang sebagai "titik api geopolitik".
Sekadar gambaran, Singapura menempati posisi 21 dalam daftar 22 kota dengan prospek investasi real estat pada 2017. Saat itu, problem menurunnya sewa dan lonjakan jumlah ruangan kosong menyebabkan Singapura kalah dibandingkan dengan kota-kota besar lain seperti Tokyo, Bangalore, dan Sydney. Sementara itu, Hong Kong berada di peringkat 18.
Namun selama beberapa kuartal terakhir, harga apartemen di Singapura telah pulih. Kondisi ini menandakan ketahanan di pasar perumahan, sementara sektor perkantoran sebagian besar menyerap kelebihan pasokan.
Baca Juga
“Pergolakan di Hong Kong menjadi pertanda baik bagi Singapura, setidaknya dalam jangka pendek,” ujar CEO Urban Land Institute Ed Walter.
“Banyak teori dalam berinvestasi kurang berbicara tentang apa yang telah terjadi ketimbang apa yang sedang atau yang akan terjadi,” paparnya, seperti dilansir melalui Bloomberg.
Singapura juga merupakan salah satu dari sedikit pasar regional yang melihat lonjakan transaksi properti pada paruh pertama tahun ini. Sebagian besar aktivitas didorong oleh modal lintas batas. Pada periode tersebut, total transaksi mencapai US$4,9 miliar atau melonjak 73 persen (yoy), menurut laporan itu.
Australia juga mencatat kenaikan, dengan kenaikan penawaran sebesar 3 persen menjadi hampir US$12 miliar. Secara luas, arus masuk modal dalam properti dari Amerika Serikat dan Eropa ke Asia Pasifik turun dan menyentuh level terendah sejak 2012 pada kuartal kedua di tengah kekhawatiran perang perdagangan.
Jatuhnya posisi Hong Kong ke peringkat paling bawah atau tujuan investasi real estat yang paling dihindari pada tahun depan terjadi ketika sektor pariwisata dan ritel kota ini terpukul aksi protes besar-besaran yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Namun Walter menggambarkan Hong Kong sebagai pasar yang sangat tangguh, dibantu oleh tingginya harga properti.
“Begitu aksi protes berakhir, sektor-sektor seperti ritel dapat rebound dengan cepat. Masalah yang lebih besar adalah apa yang terjadi dari perspektif politik dan apa yang disinyalkan tentang posisi Hong Kong sebagai pusat keuangan,” tambahnya.