Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha ayam petelur masih belum bisa lepas dari jeratan rendahnya harga akibat pasokan dan permintaan yang tak seimbang. Opsi afkir dini pun kembali dipertimbangkan.
Harga telur ayam ras terpantau bergerak stagnan di kisaran Rp16.000 per kg–17.500 kilogram (kg) di level peternak sejak Agustus lalu. Harga ini lebih rendah dibandingkan dengan harga acuan yang dipatok di angka Rp18.000 per kg–Rp20.000 per kg dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018.
Pasokan yang melampaui permintaan disinyalir menjadi penyebab kondisi ini. Ketua Asosiasi Peternak Layer Nasional Musbar Mesdi menyebutkan dalam periode 2017 sampai 2019, produksi telur setidaknya tumbuh sampai 85% dari 2,56 juta ton per tahun menjadi 4,75 juta ton.
“Jika melihat data, produksi telur per hari pada 2017 itu sekitar 8.000 sampai 9.000 ton. Sekarang bisa mencapai 13.200 ton. Artinya, setiap hari ada kelebihan pasokan sekitar 4.000 ton,” ujar Musbar kepada Bisnis, Senin (4/11/2019).
Terdapat beberapa faktor yang mendorong pesatnya pertumbuhan produksi ini. Dari sisi ilmiah, Musbar memaparkan potensi genetik ayam layer kian membaik sehingga berdampak pada lebih panjangnya masa pemeliharaan.
Pada umumnya, peternak akan melakukan peremajaan pada ayam layer yang telah memasuki usia 80 minggu. Namun dengan kondisi genetik saat ini, Musbar mengatakan masa pemeliharaan bisa lebih panjang sekitar 12–16 minggu menjadi 96 minggu.
“Jika dengan usia 80 minggu produksi 280 sampai 320 butir per ekor, sekarang meningkat sekitar 380 sampai 400 butir,” imbuhnya.
Maraknya investasi pada peternakan kelas menengah atas dengan populasi di atas 10.000 ekor pun disebut Musbar sebagai faktor pemicu. Harga telur ayam yang cukup baik selama paruh pertama 2019 disebutnya menjadi pertimbangan pelaku usaha meningkatkan kapasitas produksi.