Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal III/2019 sebesar 5,02% secara tahunan.
Pertumbuhan ekonomi secara kuartalan masih tumbuh 3,06%. Secara kumulatif masih tumbuh 5,04%.
“Ini masih tidak terlalu curam dibandingkan negara maju dan negara berkembang lain di tengah perang dagang,” ujar Kepala BPS Suhariyanto di Kantor BPS, Selasa (5/11/2019).
Secara rinci, pertumbuhan kuartal III/2019 (qtq) naik 3,06% di mana sektor lapangan usaha untuk pengadaan listrik dan gas tumbuh 4,94%, disusul sektor lapangan konstruksi 4,76%, dan jasa keuangan serta asuransi tumbuh 4,66%.
Untuk pertumbuhan PDB pada kuartal III/2019 secara (yoy), sektor lapangan usaha penyumbang tertinggi adalah jasa lainnya sebesar 10,72%, disusul jasa perusahaan sebesar 10,22%, dan jasa kesehatan serta kegiatan sosial tumbuh 9,19%.
Ada 9 sektor mengalami perlambatan pertumbuhan dibandingkan dengan kurtal III/2018 misalnya industri 4,15% (yoy) dari sebelumnya 4,35%. Lalu pertanian juga terkontraksi menjadi 3,08% (yoy) sebelumnya 3,66%.
Suhariyanto menjelaskan, kondisi perekonomian global masih sangat diliputi dengan ketidakpastian di mana perang dagang masih berlangsung, tensi geopolitik di beberapa kawasan, dan harga komoditas yang fluktuatif yang menuju penurunan. Harga komoditas migas dan nonmigas di pasar internasional pada kuartal III/2019 turun dibandingkan dengan periode yang sama 2018.
"Hal ini berpengaruh ke penurunan ekonomi di negara-negara maju dan berkembang termasuk Indonesia," katanya.
Realisasi belanja pemerintah APBN pada kuartal III/2019 tercatat hanya 22,75% dari pagu 2019 atau turun dibandingkan dengan realisasi periode sama 2018 yang mencapai 25,59 persen dari pagu 2018. "Ini tentu berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat," ujarnya.
Ekonomi mitra dagang Indonesia tumbuh melambat seperti China dari 6,5% menjadi 6%, Amerika Serikat, Singapura, dan Korea Selatan. "Ini untuk menunjukkan bagaimana ketidakpastian perekonomian global membawa pelemahan ekonomi di beberapa negara baik negara maju maupun negara berkembang," jelasnya.
Sebelumnya, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menyatakan prediksi 5,01% terbilang masih cukup realistis pada saat beberapa lembaga dan ekonom memperkirakan justru berpeluang di bawah 5% yakni sekitar 4,9%.
“Saya lihat sampai akhir tahun ini pun masih sekitar 5,01%,” ujar Aviliani di Bursa Efek Indonesia, Senin (4/11/2019).
Aviliani beralasan, sepanjang kuartal III/2019 tidak banyak sektor yang bisa memicu pertumbuhan. Apalagi kuartal III/2019 adalah momentum usai pilpres, dan adanya pergantian jajaran kabinet. Kondisi itu, menurutnya, memberi imbas pada beberapa keputusan wait and see dalam bisnis dan investasi.