Bisnis.com, JAKARTA - Harga gas yang menjadi faktor signifikan dalam mendukung pertumbuhan industri di Indonesia dinilai tidak lebih mahal dan sebaliknya tidak lebih murah dibandingkan sejumlah negara lain.
Kendati demikian, harga komoditi itu diyakini bisa jauh lebih terjangkau unguk menyokong peningkatan kinerja manufaktur. Sejumlah perbaikan, mulai efisiensi produksi di hulu, penyaluran dan distribusi yang terintegrasi melalui holding BUMN migas, hingga pemangkasan perantara atau trader menjadi catatan bagi pemerintah.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan bahwa harga gas domestik di hulu relatif tidak lebih mahal dibandingkan sejumlah negara di Asia lain. Namun, dia mengakui harga gas dalam negeri di sektor hilir, khususnya bila dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga, masih lebih tinggi.
"Harga gas di hulu, Indonesia itu tidak paling mahal dan tidak paling murah, sedangkan yang dipentingkan itu adalah harga di hilir yang diterima konsumen," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (31/10/2019).
Faisal menilai kondisi itu tidak terlepas dari faktor geografis Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari pulau-pulau. Faktor itu, katanya, memengaruhi biaya distribusi gas yang tentunya jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang memiliki luas wilayah lebih kecil dan hanya berupa satu daratan.
Menurutnys, di Indonesia sumber gas dan pusat industri cukup berjarak sehingga membutuhkan infrastruktur dengan nilai besar dan jaringan distribusi luas.
Terkait kondisi itu, Faisal menekankan bahwa harga gas masih bisa ditekan dengan sejumlah langkah. Meski harga gas domestik di hulu tidak terlalu tinggi, proses produksinya masih belum cukup efisien. Efisiensi produksi di hulu itu, kata Faisal, bisa ditingkatkan lagi.
"Perlu mendorong secara teknologi dan mencari dari negara-negara tetangga apa yang bisa diadopsi agar bisa efisienkan harga di hulu. Poinnya terkait teknologi dan infrastruktur," ujarnya.