Namanya Agus Yudha dan pekerjaannya sopir angkutan barang. Bapak dua anak asal Jawa Timur ini pernah viral di media sosial pada Mei tahun lalu lantaran pernah melakukan aksi nekat berjalan kaki dari Mojokerto, Jawa Timur, menuju Jakarta.
Pria berambut gondrong tersebut sengaja melakukan aksi berjalan kaki selama 26 hari untuk dapat bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo. Dia ingin mengadukan permasalahan yang sering dialaminya maupun kawan-kawannya terkait dengan pungli, langsung kepada Kepala Negara.
Sebagai sopir, Agus Yudha dan sesama driver angkutan barang lainnya mengaku sering mengalami praktik pungli di jalanan Tanah Air. Dirinya geram, karena yang melakukan bukan saja preman, tapi justru dilakukan oleh sejumlah oknum berseragam resmi pemerintah.
Meskipun aksinya sempat membuat praktik pungli menghilang beberapa saat, ternyata praktik pungli tak pernah bisa sepenuhnya lenyap, bahkan kembali marak. Beberapa kasus di antaranya bahkan semakin parah dan sangat meresahkan para sopir.
Dalam sekali jalan, Agus mengaku bisa mengeluarkan uang hingga totalnya kurang lebih Rp700.000, hanya untuk diberikan kepada para oknum petugas dan preman pelaku pungli itu. Kata Agus, besaran uang pungli bervariasi di setiap lokasi, yaitu antara Rp100.000 hingga Rp350.000.
“Mulai dari oknum DLLAJ, polisi dan preman. Lokasinya banyak, ada di Bekasi, Karawang, Subang, dll. Kalau kasusnya biasanya mengenai surat izin bongkar muat (SIPA),” tegasnya kepada Bisnis.
Menurut Sekjen Asosiasi Pengemudi Nasional (APN) Djarkasih Damanik praktik pungli bahkan saat ini lebih parah. Pasalnya, selain sering terjadi di beberapa jalan provinsi di Pulau Jawa dan Sumatra, pungli juga terjadi di ruas jalan tol.
“Dulu saat mas Agus ke istana, berjalan 3 bulan sempat berkurang termasuk di Palembang. Sekarang, jangankan di Palembang, di kota besar dekat Jakarta saja sudah luar biasa punglinya. Cek saja oknum PJR di tol itu, di Tangerang,” tegasnya.
Pihaknya mengaku tidak habis pikir, sebagai petugas negara yang seharusnya memberikan pelayanan dan keamanan bagi warganya, justu tindakannya melawan hukum dengan memeras para sopir.
“Sopir itu berapa penghasilannya? Paling uang jalan saja. Kok ya masih tega dipungli? Parahnya lagi, ini dilakukan oleh oknum petugas berseragam yang sudah digaji bulanan oleh negara,” ujarnya.
Oleh sebab itu, pihaknya meminta pemerintah, terutama kepada Presiden Joko Widodo untuk lebih concern lagi terhadap persoalan praktik pungli tersebut. Pasalnya, walaupun masih banyak petugas yang baik, citra mereka bisa rusak dan hancur oleh ulah oknum-oknum tersebut.
“Kami sudah banyak bukti, baik rekaman maupun para korban langsung. Kami siap membantu. Namun, apa iya laporan yang masuk langsung ditindaklanjuti? Selama ini buktinya tidak ada. Menunggu viral dulu baru bertindak. Jadi, kami minta pemerintah untuk lebih fokus lagi selesaikan masalah ini,” ujarnya.
Sementara itu, aduan dari para sopir truk barang tentang pungutan liar di jalan raya kerap muncul meskipun Tim Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Tim Saber Pungli) telah dibentuk.
Menurut Persatuan Pengemudi Truk Indonesia (PPTI) Gunawan, laporan tentang pungli yang disampaikan sopir kepada asosiasi sempat mereda setelah Tim Saber Pungli terbentuk pada Agustus 2016.
Selang beberapa bulan kemudian, aduan tentang pungli marak kembali meskipun laporan itu kadang tidak disertai bukti video atau foto alias hanya disampaikan secara lisan.
RAWAN PUNGLI
Berdasarkan laporan yang diterima pihaknya, sejumlah daerah yang rawan pungli di antaranya Probolinggo, Jawa Timur; Palembang, Sumatra Selatan; dan Jambi. Di Jambi, truk barang yang dikemudikan sopir anggota asosiasi sempat patah as di tengah jalan.
Sopir itu diminta membayar uang sekitar Rp4 juta oleh pemuda setempat dengan alasan untuk biaya pengamanan. Pengemudi terpaksa membayar. Kejadian itu kemudian dia laporkan ke polres setempat.
Sementara itu, kasus di Dadap, Kosambi, Tangerang, tak cuma truk pengangkut tanah, truk barang juga kerap menjadi sasaran pungli oleh pemuda setempat.
Pungli di Probolinggo juga sering dikeluhkan sopir truk barang meskipun asosiasi hingga kini belum dapat memperoleh bukti. Gunawan memahami ketakutan yang dialami pengemudi saat berhadapan dengan petugas.
“Jika merekam gambar lewat video atau foto, mereka dibilang melawan petugas. Keselamatan mereka bisa terancam di jalan,” tuturnya.
Gunawan memaparkan pungli yang terjadi selama 5 tahun terakhir tidak kurang parah dibandingkan dengan sebelumnya. Bedanya, pungli pada masa lalu lebih terorganisasi.
Sopir biasanya dikutip pungli yang dibungkus sebagai uang pengawalan atau keamanan itu sekitar Rp150.000—Rp250.000. Saat pengemudi telah membayar pungli, petugas memberikan cap di truk.
Namun, sejak Presiden Joko Widodo bertemu dengan sopir truk di Istana Negara, pada Mei 2018, pungli dilakukan kucing-kucingan. Pengemudi tidak bisa lagi membedakan apakah pungli didalangi oleh preman atau aparat.
Pasalnya, jika tidak membayar pungli, truk barang bisa diganggu sepanjang perjalanan, misalnya dibuntuti menggunakan sepeda motor, kaca mobil dipecah, atau truk dilempari batu.
“Lebih parah yang tidak terorganisasi. Dulu ketika pungli ada cap-capan, mereka bertanggung jawab terhadap keamanan kendaraan kami di jalan. Kalau di depan ada apa-apa, cap itu bisa kami tunjukkan, kami bisa melanjutkan perjalanan. Ketika tidak terorganisasi, siapa yang bertanggung jawab?”