Bisnis.com, JAKARTA - Revisi UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan masih menimbulkan pro dan kontra antara serikat pekerja dan pengusaha.
Pasalnay, baik pihak pengusaha maupun serikat pekerja menyatakan pembahasan soal revisi tersebut sudah dilakukan sudah cukup lama, tetapi selalu terjadi kebuntuan di antara kedua belah pihak.
Beberapa pasal yang menjadi perdebatan antara pengusaha dan pekerja adalah pasal 89 tentang pengupahan, pasal 156 dan 157 tentang pesangon, pasal 59 dan 60 tentang kontrak kerja, serta pasal 64,65 dan 66 tentang tenaga alih daya/mencadaya (outcource).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Perindustrian Johnny Darmawan meminta agar pihak serikat pekerja tak langsung menolak mentah-mentah revisi beleid tersebut. Dia berharap agar penjelasan pengusaha didengarkan terlebih dahulu sehingga terjadi kesepahaman.
Sehubungan dengan masalah pengupahan, Johnny mengatakan para pengusaha ingin agar upah dihitung berdasarkan produktivitas tenaga kerja.
“Jadi maksudnya bukan upah murah, tetapi yang berdasarkan produktivitas. Misalnya, kita hitung berapa produktivitas nasional segala macam, dan produktivitas pekerjanya. Dia bisa dapat gaji besar kalau produktif,” kata Johnny kepada Bisnis.com, Minggu (27/10/2019).
Selain itu, lanjutnya, kenaikan upah harus mempertimbangkan kemampuan finansial perusahaan. Dia mencontohkan beberapa negara menerapkan perhitungan upah berdasarkan inflasi dan kemampuan finansial perusahaan. Berbeda dengan Indonesia yang menerapkan perhitungan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Soal pesangon, Johnny mengatakan rumusan mengenai pesangon dan siapa yang perlu dapat pesangon haruslah jelas. Selama ini, pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) menuntut pesangon meskipun PHK terjadi akibat kesalahan si pekerja.
“Dia berbuat salah dia yang dapat ganti rugi. Kan sebetulnya enggak gitu. Kalau di luar negeri kan clear, misalnya dia salah karena karena enggak perform, kalau keluar ya tanpa pesangon. Meskipun enggak ada pesangon kan sudah ada tunjangan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan segala macam itu bisa dia nikmati.”
Tidak hanya upah dan pesangon, hari/waktu kerja sebagaimana yang diatur dalam pasal 77 tentang waktu kerja dan pasal 64-66 UU 13/2003 tentang alih daya juga harus dibenahi.
Menurutnya, definisi dari alih daya harus diperjelas. Sebab, banyak pihak yang berlomba menjadi perusahaan alih daya, tetapi lepas tanggung jawab jika menyangkut soal pesangon.
“Harusnya perusahaan itu yang ditangkap dan dihukum. Pengusaha outsourcing juga bertanggung jawab pada kredibilitas kalau pekerja itu dikeluarkan. Kalau seperti ini, nanti orang tinggal pilih, mau memilih pakai robot padahal banyak pengangguran atau outsourcing-nya yang dibenahi.”
Kemudian, imbuhnya, soal kontrak kerja. Dalam pasal 56 UU 13/2003 ayat 1 disebutkan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu, sedangkan pada ayat (2) disebutkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas jangka waktu, atau selesainnya suatu pekerjaan tertentu.
Menurutnya, perlu ada aturan jelas soal kontrak kerja. Sebab, hal tersebut dianggap tidak fair jika ada pekerja yang terus menerus dikontrak. “Kan enggak adil dong. Masak sudah sekali kontrak, terus kontrak kedua, ketiga, itu harus jelas sih KPI-nya.”
MENGURANGI KESEJAHTERAAN
Sementara itu, Ketua Serikat Pekerja (ASPEK) Mirah Sumirat mengakui bahwa pihaknya bersikukuh menolak revisi UU 13/2003. Alasanya, usulan pengusaha dianggap mengurangi kesejahteraan para pekerja/buruh.
“Karena memang ternyata setelah mendengar, mendengar yah, kami belum baca drafnya karena mereka enggak pernah kasih. Itu lebih banyak menurunkan kualitas kehidupan para pekerja,” kata Mirah.
Namun, dia mengaku setuju jika UU Ketenagakerjaan ditinjau kembali lantaran ada banyak putusan Mahkamah Konstitusi yang kemudian di addendum dalam undang-undang 13/2003.
Dalam hal ini, Mirah mengatakan revisi UU ketenagakerjaan haruslah dilakukan secara menyeluruh, tidak sepotong-sepotong dan melibatkan banyak pemangku kepentingan. Bukan hanya pengusaha, serikat pekerja dan pemerintah, tetapi juga perlu mengundang akademisi yang ahli di bidangnya.
Mirah menuturkan ada beberapa hal yang ditolak oleh serikat pekerja. Pertama, soal upah. Selama ini pengusaha ingin agar kenaikan upah tidak terjadi setiap tahun melainkan 2 tahun sekali atau lebih dari 2 tahun.
“Intinya kami menolak kalau menurunkan kesejahteraan pekerja. Namun, kalau jaminan sosial pekerja akan ditanggung semua seperti jaminan kesehatan itu digratiskan, pendidikan juga, jaminan pensiun, subsidi rumah yang murah dan transportasi publik yang murah kalau bisa digratiskan, ya tidak ada masalah sih menurut saya kalau soal pesangon/upah direvisi.”
Dia mengatakan penyebab mengapa investor enggan masuk ke Indonesia sebetulnya bukan disebabkan oleh persoalan upah, melainkan sistem birokrasi dan tingkat korupsi yang cukup tinggi.
Kedua, soal pesangon. Menurutnya, para pengusaha cenderung menghilangkan hak pesangon pekerja. “Kalau versinya pengusaha kan itu mengurangi, dari 9 kali gaji misalnya kemudian jadi 6 kali.”
Ketiga, terkait dengan status karyawan kontrak. Dia mengatakan para pengusaha ingin kontrak karyawan bisa diperpanjang lebih dari 5 tahun.
“Mereka [pengusah] juga minta ke pemerintah, mengajukan usulan memperluas posisi-posisi tenaga kerja asing. Tidak hanya itu, mereka juga minta revisi soal alih daya. Ini sekarang minta diperluas, artinya ini sebuah kemunduran dan kami khawatir masa depan pekerja. Jadi itu yang kami tolak.”
Terakhir, hak cuti haid. Dia menduga dalam revisi tersebut, para pengusaha ingin menghapuskan hak cuti haid bagi pekerja perempuan. Padahal, imbuhnya, hak cuti haid adalah amanah/imbauna dari ILO.
Menanggapi perselisihan perihal revisi UU tersebut, pengamat ketenagakerjaan, Payaman Simanjutak mengatakan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang sudah sangat perlu disempurnakan atau direvisi.
Alasannya; pertama, Mahkamah Konstitusi sudah melakukan belasan amandemen. Setiap amandemen harus disesuaikan dengan Undang-undang.
“Dengan amandemen tersebut, sudah banyak yang bolong dalam UU 13/2003. Artinya sudah banyak kekosongan hukum. Beberapa peraturan pelaksanaannya, sudah tidak mempunyai landasan hukum yang sesuai lagi,” katanya.
Kedua, UU tersebut sudah berusia 16 tahun, sehingga sudah terdapat beberapa hal yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi digital sekarang ini.
Ketiga, untuk mengakomodasikan kompromi dulu, terdapat beberapa hal yang tidak konsisten dalam UU No. 13/2003 tersebut, sehingga sekarang sukar dilaksanakan.
“Karena itu, semua stakeholders perlu sama-sama melakukan evaluasi untuk menentukan apa yang harus direvisi dan merekomendasikan penyempurnaannya.”