Bisnis.com, JAKARTA - IMF memperingatkan negara-negara emerging market di Asia terkait risiko arus modal bervolume besar dan dampaknya terhadap perekonomian.
IMF berargumen bahwa arus moda tersebut bisa mendisrupsi nilai tukar dan kondisi finansial di negara-negara Asia.
Capital inflow di satu sisi dapat memperkuat nilai tukar dan meningkakan aktivitas bisnis di suatu negara. Meski demikian, hal ini juga bisa berujung pada penurunan aktivitas bisnis apabila terjadi capital outflow.
"Fluktuasi dari nilai tukar dalam bisa memperburuk kondisi korporasi dan mengurangi investasi, terutama di negara-negara dengan korporasi yang memiliki utang luar negeri yang besar dan dibarengi dengan pasar keuangan yang masih kurang berkembang," tulis IMF dalam laporan yang dikutip Bisnis.com, Kamis (24/10/2019).
IMF menemukan bahwa depresiasi nilai tukar sebesar 30% dapat meningkatkan jumlah korporasi dengan probabilitas gagal bayar tinggi hingga 7%.
Guncangan terhadap nilai tukar terutama di negara-negara Asia dengan pasar keuangan yang belum berkembang juga dapat menurunkan rasio investasi. IMF mencatat setiap 1% dari depresiasi nilai tukar dapat menurukan rasio investasi sebesar 0,5%.
Peringatan IMF terhadap negara-negara Asia ini masih relevan terhadap kondisi yang ada di Indonesia sekarang.
Sebelumnya, Bank Dunia pernah memperingatkan Indonesia terkait adanya potensi capital outflow yang besar sehingga bisa meningkatkan suku bunga acuan dan menimbulkan depresiasi yang lebih dalam atas nilai tukar rupiah.
Ancaman capital outflow semakin kentara menginggat CAD Indonesia per kuartal II/2019 CAD tercatat mencapai US$8,4 miliar atau 3% dari PDB.
Bank Dunia memproyeksikan CAD Indonesia pada akhir tahun bakal mencapai US$33 miliar. Adapun penanaman modal asing (PMA) menuju Indonesia baru mencapai US$22 miliar, sedangkan penanaman modal oleh Indonesia di luar negeri baru mencapai US$5 miliar dalam setiap tahunnya.
Dengan ini, Indonesia membutuhkan capital inflow hingga US$16 miliar dan bisa lebih tinggi lagi apabila capital outflow memang benar-benar terjadi.
Terkait dengan utang korporasi, Moody's Investor Service secara khusus sudah menyebut bahwa Indonesia merupakan negara yang korporasinya paling rentan mengalami gagal bayar.
Moody's menemukan bahwa 53% dari utang korporasi di Indonesia memiliki rasio utang terhadap korporasi di atas 4, sedangkan 40% korporasi di Indonesia memiliki ICR di bawah 2.
Tingginya rasio utang EBITDA menunjukkan bahwa proporsi utang dalam suatu perusahaan lebih besar dibandingkan dengan pendapatan korporasi, sedangkan rendahnya ICR menunjukkan bahwa kemampuan korporasi untuk menutup beban biaya bunga utang juga semakin rendah.
Khusus untuk Indonesia, pendapatan dari korporasi di Indonesia cenderung melemah terutama untuk korporasi yang mengandalkan komoditas.
Pada saat yang sama, kapabilitas korporasi untuk membayar utang luar negeri juga akan menurun apabila tidak ada tindakan untuk melindungi nilai tukar rupiah dari depresiasi.
Moody's mencatat hingga Mei 2019 utang korporasi yang berdenominasi valuta asing mencapai 18% dari total pinjaman perbankan.