Bisnis.com, JAKARTA — Sepanjang periode Januari-September 2019, PT Pertamina EP mencatatkan hasil kinerja produksi minyak yang positif. Namun, faktor eksternal menekan kinerja keuangan.
Produksi minyak anak usaha PT Pertamina (Persero) tersebut mencapai 82,41 ribu barel minyak per hari (bopd) hingga kuartal III/2019, naik 5,83% dibandingkan dengan realisasi produksi pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 77,87 ribu bopd. Kenaikan tersebut didukung realisasi produksi sumur bor di beberapa lapangan seperti Subang, Jatibarang, Pendopo, Prabumulih, Ramba, dan Jambi.
Presiden Direktur Pertamina EP (PEP) Nanang Abdul Manaf mengatakan kenaikan produksi juga ditopang optimasi sumur di beberapa lapangan seperti Rantau, Pangkalan Susu, Ramba, Prabumulih, Pendopo, Limau, dan Tambun. Selain itu, kemitraan pun turun memberi dampak positif.
“Untuk produksi minyak, PEP Asset 5 dan Asset 2 memberikan kontribusi terbesar, yakni masing-masing 17,82 ribu bopd dan 17,68 ribu bopd, sedangkan untuk gas, Asset 2 dan Asset 3 menjadi kontributor produksi terbesar, yakni 397,2 MMscfd dan 259,9 MMscfd,” katanya, Rabu (23/10).
Menurut Nanang, untuk mencapai target yang ditetapkan dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) dari sisi operasi produksi, eksplorasi, dan pengembangan, pihaknya fokus pada rencana pengeboran beberapa sumur yang telah direncanakan.
Selain itu, untuk menjaga laju penurunan alamiah, PEP melakukan beberapa langkah optimasi produksi seperti mengubah desain kedalaman pompa maupun kapasitas pompa. PEP juga melakukan pemilihan dan percepatan pengerjaan kandidat sumur dengan skala prioritas.
Terkait kinerja keuangan, hingga kuartal III/2019, PEP membukukan pendapatan senilai US$2,2 miliar dan laba bersih US$492,43 juta. Laba bersih tersebut turun 15,47% dibandingkan dengan laba bersih pada periode yang sama tahun lalu senilai US$582,57 juta.
“Pendapatan terkoreksi karena harga minyak yang pada periode hingga kuartal III/2018 sebesar US$67,95 per barel turun menjadi US$62,01 per barel pada periode yang sama tahun ini,” tuturnya.
Dia menjelaskan setiap terjadi penurunan harga minyak US$1 per barel untuk rata-rata satu tahun, laba bersih bakal tergerus hingga US$12 juta. Hal tersebut akhirnya menekan kinerja keuangan PEP.
Selain itu, tantangan dari kurs juga menghantui PEP sepanjang tahun ini. Nanang mengatakan setiap terjadi penguatan mata uang rupiah terhadap dolar AS senilai Rp100, laba bersih bisa terkikis hingga US$6 juta dolar.
“Asumsinya memang seperti itu. Jadi, kinerja keuangan memang sangat dipengaruhi harga minyak dan kurs. Yang bisa kita lakukan tentu melakukan efisiensi, terutama dalam biaya operasi,” ujarnya.
Terkait biaya operasi, PEP telah menyerap US$840,94 juta hingga kuartal III/2019 yang mencakup operasi sendiri US$786,74 juta dan operasi mitra US$54,20 juta. Nilai tersebut telah mencapai 71,51% dari RKAP 2019 senilai US$1,176 miliar.
Untuk penyerapan anggaran biaya investasi, hingga akhir September 2019 realisasi US$405,84 juta atau sebesar 72,81% dari RKAP 2019 senilai US$557,40 juta.