Bisnis.com, JAKARTA – Tekanan terhadap impor September 2019 masih tinggi disertai pelemahan harga minyak sawit, dan lemahnya ekspansi manufaktur akan menyumbang surplus tipis pada neraca perdagangan September 2019.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memprediksikan pertumbuhan ekspor pada September 2019 masih terkontraksi sekitar 1,76% (mom), menjadi sekitar US$14,03 miliar atau terkontraksi -6,06% (yoy), dibandingkan dengan Agustus 2019 sebesar US$14,28 miliar atau -9,99% (yoy).
“Harga CPO [crude palm oil] menurun, tetapi harga komoditas batu bara menunjukkan perbaikan,” kata Andry, Senin (14/10/2019).
Dia menyatakan, penguatan harga batu bara disebabkan oleh permintaan dari China yang meningkat seiring dengan memasuki musim dingin. Meski demikian, Andry menilai ada pertumbuhan impor pada September 2019 akan melemah 3,44% (mom) menjadi US$13,71 miliar atau -6,18% (yoy), jika dibandingkan dengan Agustus 2019 menjadi US$14,20 miliar atau -15,60% (yoy).
Andry memprakirakan, neraca dagang September masih akan mencatatkan surplus US$325 juta, dibandingkan dengan US$85,1 juta surplus pada Agustus 2019.
Hal ini, menurut Andry, secara kumulatif, dari Januari-September 2019, neraca perdagangan masih defisit US$1,49 miliar, lebih kecil jika dibandingkan dengan defisit Januari-September 2018 sebesar US$3,82 miliar.
Andry mengatakan, dengan kondisi tersebut, kemungkinan besar secara year-to-date (ytd) Januari-September, defisit transaksi berjalan akan mengalami perbaikan menjadi -2,6% dari PDB. CAD ini diprediksi lebih baik dari pencatatan CAD kuartal II/2019 sebesar 3,0% dari PDB dan dibandingkan dengan Januari-September 2018 sebesar 2,98% dari PDB.
Ekonom Center for Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyatakan neraca perdagangan September 2019 masih akan surplus melanjutkan dari tren Agustus 2019. Dia memprakirakan, surplus tersebur didorong oleh perlambatan dari impor ketimbang ekspor.
Dia menjelaskan, pertumbuhan ekspor diprediksi mencapai kisaran -9% (mom), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor Agustus yakni -7,6% dengan nilai US$12,9 miliar.
Sementara itu, impor pertumbuhannya akan mencapai -9,5% atau lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan Agustus mencapai -8,5% dengan nilai sekitar US$12,8 miliar. “Jadi kisaran surplus antara US$100 juta,” kata Yusuf.
Dia memerinci, jika dilihat dari tren 2 tahun terakhir ada perlambatan ekspor dan impor, sehingga potensi yang sama menurut Yusuf masih akan terjadi tahun ini. Dia menilai, pertumbuhan impor terkontraksi lebih dalam akibat perlambatan ekspansi manufaktur.
Dia menyatakan hal itu tercermin dalam indikator Prompt Manufacturing Index (PMI), dari Bank Indonesia untuk kuartal III/2019 menyebut ada perlambatan manufaktur dari kuartal II/2019. Selain itu data PMI Nikkei juga menunjukkan hal serupa pada September 2019 level PMI Indonesia berada di bawah 50, yaitu 49.
“Pelemahan ini menunjukkan menurunnya aktivitas impor, karena 68% impor dilakukan untuk kebutuhan bahan baku industri,” jelasnya.
Pada sisi lain, Yusuf menambahkan, ekspor Indonesia sebagian adalah produk manufaktur. Oleh sebab itu, ekspor perlu dijaga karena ada peluang ikut tertekan.