“Industri tekstil dan produk tekstil [TPT] kita ini unik sekali. Dalam 3 tahun terakhir, ekspor [TPT] kita terus tumbuh, tetapi untuk [industri TPT] yang orientasinya [ke pasar] dalam negeri justru terus mengalami penurunan.”
Kalimat itu diucapkan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat dalam sesi jumpa pers di Kementerian Perdagangan akhir pekan lalu. Kala itu, dia menyebut anomali dalam industri TPT nasional saat ini salah satunya terjadi akibat gempuran dari sisi impor yang tercatat terus naik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) neraca perdagangan TPT Indonesia memang terus menyempit dalam 3 tahun terakhir. Pada 2017, Indonesia bisa mengekspor TPT senilai US$13,1 miliar dengan impor US$8,8 miliar, sehingga neraca perdagangan surplus US$4,3 miliar.
Namun, pada 2018 surplus neraca perdagangan TPT tergerus ke level US$3,2 miliar lantaran ekspor hanya menyentuh US$13,22 miliar, sedangkan impornya US$10,0 miliar. Tren itu berlanjut pada semester I/2019, di mana neraca perdagangan TPT hanya mencatatkan surplus US$2,32 miliar, turun dari periode yang sama tahun lalu senilai US$2,36 miliar.
Meningkatnya laju impor TPT membuat produsen lokal mengajukan kebijakan pengamanan perdagangan (safeguard) pada bulan lalu kepada pemerintah.
Hasilnya, Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) memasukkan notifikasi ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) pada 19 September untuk menyelidiki lonjakan impor sejumlah produk TPT di Indonesia.
Kalangan pengusaha pun mengapresiasi upaya pemerintah dalam mengakomodasi permintaan safeguard dari industri TPT. Rencananya, safeguard akan diberlakukan merata dari hulu hingga hilir.
“Namun, penyelidikan oleh KPPI ini butuh proses. Kita harus bersabar untuk mendapatkan hasil terbaik,” ujar Ade.
Namun, di balik isu di sektor perdagangan tersebut, terdapat sejumlah hal yang sejatinya juga membelenggu industri TPT nasional. Belenggu itulah yang membuat TPT Indonesia acapkali dinilai kalah bersaing dengan produk dari negara kompetitor seperti Vietnam dan Bangladesh.
Hal itu setidaknya tecermin dalam sejumlah masukan yang disampaikan oleh API ketika bertemu dengan Presiden Joko Widodo pada 18 September 2019 di Istana Negara.
Salah satu curahan hati para pelaku usaha terkait dengan kendala di sektor TPT itu adalah daya saing di sektor tenaga kerja yang terbilang rendah. Alhasil, usulan revisi Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengemuka dari pelaku usaha.
Kalangan pengusaha meminta agar jam kerja pegawai ditambah menjadi 48 jam dalam sepekan dari ketentuan yang ada saat ini di UU Ketenagakerjaan yakni 40 jam. Mereka juga mengharapkan pesangon pekerja masuk dalam perhitungan BPJS Ketenagakerjaan.
Di samping itu, persoalan biaya lembur pekerja di Tanah Air pun dinilai memberatkan, karena lebih mahal dari negara pesaing. Persoalan usia pekerja juga diklaim menjadi penghambat proses produksi TPT.
Pasalnya, dalam UU Ketenagakerjaan, usia minimum pekerja adalah 18 tahun, sedangkan pada saat ini lulusan SMK/SMA rata-rata berusia 17 tahun. Dalam hal ini, persoalan ketenagakerjaan sudah tentu menjadi penting bagi industri TPT. Mengingat, industri tersebut memiliki karakter padat karya.
Tak berhenti di situ saja, persoalan perpajakan turut menjadi kendala bagi industri TPT. Pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap seluruh produk dari hulu hingga hilir menjadi beban bagi pengusaha.
Kebijakan perpajakan itu dinilai sebagai salah satu hal yang membuat harga produk TPT Indonesia lebih mahal dari negara lain. Pemerintah sejatinya telah menyediakan mekanisme restitusi PPN bagi eksportir TPT. Praktiknya, kebijakan itu justru memberatkan arus kas keuangan perusahaan.
Di sisi lain, persoalan tingginya ongkos energi di Tanah Air tak luput dari aspek yang membelenggu industri TPT. Harga gas dan listrik industri di Indonesia yang terbilang masih tinggi, membuat biaya produksi membengkak.
Persoalan aturan lingkungan hidup pun turut menyumbang beban bagi industri tersebut. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 16/2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup disinyalir menjadi penghambat investasi dan ekspansi industri TPT.
Pasalnya, ketentuan itu memaksa industri TPT menjaga chemichal oxygen demand (COD) dan biologycal oxygen demand (BOD) di level 115 dari posisi sebelumnya 150. Level tersebut dianggap tidak adil lantaran industri lain seperti minyak sawit mentah dan kertas diperbolehkan di level yang lebih tinggi.
Persoalan-persoalan di atas belum ditambah dengan isu derasnya laju impor produk jadi TPT melalui platform dagang-el dan lambatnya proses adaptasi teknologi revitalisasi permesinan di pabrik-pabrik TPT.
Sekeretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wiraswasta menambahkan, lemahnya daya saing dan ekspansi industri TPT di sektor perantara, seperti kain, pun tak luput menjadi kelemahan bagi industri tersebut.
“Maka dari itu, industri di sektor tengah ini perlu ada penguatan. Selain berbentuk perlindungan perdagangan berupa tarif dan nontarif, industri ini perlu diberikan dorongan agar tumbuh kuat. Tujuannya adalah agar industri TPT dari hulu ke hilir bisa terkoneksi dengan baik dan tidak mudah disusupi produk impor.”
Saat ditemui Bisnis.com di kantornya, Jumat (11/10), Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi berpandangan publik masih condong melihat permasalahan industri TPT dari sisi hulu saja.
Sisi hulu TPT memang cukup penting. Terlebih, saat ini diskusi mengenai impor di komoditas hulu TPT masih cukup intensif. Namun, tegas Heru, persoalan mengenai impor tersebut tak serta-merta harus dilakukan melalui pusat logistik berikat (PLB).
Impor TPT bisa dilakukan dari berbagai macam saluran, mulai dari importasi umum, kawasan berikat (KB) dan sejenisnya, serta PLB. Data otoritas kepabeanan menunjukkan, total impor TPT melalui PLB hanya 4,1% dari total impor TPT nasional.
Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah impor TPT Januari—September 2019 melalui PLB memang naik cukup signifkan. Pada 2016, porsinya baru 0,1% dari keseluruhan impor TPT, pada 2017 menjadi sebesar 1,3%, dan pada 2018 sebesar 2,9%.
Kendati ada kenaikan impor TPT melalui PLB, sebutnya, bukan lantas hal itu bisa menekan kinerja industri TPT dalam negeri. Apalagi, klaimnya, porsi impor TPT melalui PLB relatif sedikit bila dibandingkan dengan total impor komoditas tersebut.
IMPOR DI HILIR
Heru pun mengungkapkan beberapa persoalan lainnya yang juga bisa memengaruhi kinerja industri pertekstilan secara nasional. Salah satunya adalah impor pakaian jadi atau impor di industri hilir TPT. Selain tanpa kuota, praktik impor pakaian jadi juga kerap menimbulkan persoalan.
Dia memprediksi persoalan impor TPT di sektor hilir bisa menjadi bom waktu jika tak segera diatasi. Sebab, saat industri hulu TPT domestik sedang dihadapkan pada berbagai macam masalah, impor pakaian jadi justru terus berlangsung dengan harga yang lebih murah.
Untuk itu, beberapa kali aparat kepabeanan melakukan penindakan terhadap pelanggaran impor TPT, termasuk pakaian jadi.
Menariknya, dari data penindakan Bea Cukai, salah satu penindakan TPT yang sering dilakukan oleh DJBC adalah penindakan impor barang kiriman yang dilakukan oleh para pelaku dagang-el.
Jika merujuk data penindakan DJBC, jumlah penindakan impor barang kiriman tersebut melesat dari 27 penindakan pada 2018 menjadi 190, atau naik lebih dari tujuh kali lipat hanya dalam kurun Januari—September 2019.
Dengan demikian, dilihat dari sisi pertumbuhan, lonjakan penindakan impor TPT barang kiriman ini merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan penindakan secara umum yang justru terkontraksi lebih dari 25%.
Heru mengatakan pelanggaran dalam impor pakaian jadi juga akan menjadi fokus pengetatan oleh aparatnya. Mekanismenya sama dengan impor di sektor hulu, yaitu via pemeriksaan dokumen, fisik, termasuk melakukan patroli di luat dan darat.
“Ini untuk memastikan bahwa [pelanggaran impor] di sektor hilir ini tidak memengaruhi industri TPT nasional.”
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Wisnu Wardhana mengatakan pemerintah sedang melakukan upaya bertahap untuk memperkuat industri TPT dalam negeri.
Dia mengakui persoalan yang dihadapi oleh industri TPT nasional terbilang kompleks, sehingga perlu penanganan yang komprehensif. Perlindungan perdagangan menjadi salah satu instrumen kebijakan yang digunakan untuk memperkuat industri tersebut.
“Di banyak negara, industri TPT marak diberlakukan kebijakan proteksionisme. Kita juga akan mengupayakan hal tersebut dengan cara melakukan revisi Permendag No.64/2017 tentang Ketentuan Impor TPT dan melakukan peningkatan pengawasan importasi ilegal di semua jalur.”
Sementara itu, terkait dengan gempuran impor melalui platform dagang-el, Wisnu mengklaim pemerintah sedang menyiapkan kebijakan antisipatif. Langkah itu akan dilakukan pemerintah dengan mewajibkan impor tekstil via dagang-el melalui PLB.
Pada akhirnya, penyelamatan secara komprehensif terhadap industri TPT menjadi sangat penting, mengingat kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia berada pada posisi kelima terbesar per kuartal II/2019, yakni 1,30%.
Di sisi lain, pemerintah juga tidak boleh lupa bahwa industri TPT menaungi nasib sekitar 2 juta tenaga kerja Tanah Air.
Kompleksitas impor TPT perlu ditilik secara komprehensif. Pasalnya, jika hanya fokus pada satu sisi, sisi lainnya tak tersentuh dan hal ini tidak akan menyelesaikan persoalan TPT saat ini.