Bisnis.com, JAKARTA — Ekspor karet Indonesia kian lesu akibat produktivitas perkebunan yang melemah. Penyakit gugur daun dianggap sebagai biang keladinya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo mengemukakan ekspor karet selama Januari 2019–Agustus 2019 berjumlah 1,787 juta ton. Jumlah tersebut turun 265.000 ton dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 2,052 juta ton.
“Penurunan ini kami perkirakan karena pemulihan dari penyakit lambat, maka masih berlanjut,” katanya kepada Bisnis, Rabu (2/10/2019).
Kemarau yang lebih panjang pun disinyalir turut memperlambat upaya penanggulangan penyakit gugur daun. Meski pemupukan dan fungisida dilakukan dengan intensitas tinggi, Moenardji menyebutkan tanaman karet tetap membutuhkan air dengan kuantitas memadai demi mendorong pertumbuhan daunnya.
“Produksi selama kemarau memang cenderung rendah karena proses pertumbuhan daun terganggu. Kalaupun diberi obat untuk pencegahan jamur, ia tetap butuh air untuk dapat tumbuh kembali,” sambungnya.
Turunnya pasokan karet turut mempengaruhi kinerja perusahaan. Moenardji menyebutkan sejumlah perusahaan bahkan memutuskan mengurangi jam kerja karena ketersediaan bahan baku yang lebih sedikit, khususnya di Sumatra Selatan yang ia sebut merasakan dampak gugur daun paling serius.
“Dampak dari pasokan yang berkurang ini memang sebagian perusahaan di Sumatra Selatan, di mana mereka terdampak paling serius akibat penyakit. Ada yang mengurangi jam kerjanya,” tuturnya.
Untuk kinerja ekspor sampai akhir tahun, ia memperkirakan akan terjadi penurunan sampai 360.000. Angka koreksi ia sebut berpotensi lebih tinggi jika kondisi di lapangan tak kunjung membaik.
Tahun lalu, ekspor karet alam Indonesia tercatat berjumlah 2,95 juta ton atau sekitar 80% dari total produksi 2018 sebanyak 3,7 juta ton. Di sisi lain, produksi karet nasional berpotensi turun 15% dibandingkan tahun, yakni sebesar 550.000 ton.