Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah disarankan terus memperkuat diplomasi ke berbagai negara demi menggairahkan kembali ekspor sejumlah sektor manfufaktur yang menurun dalam beberapa waktu terakhir.
Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan persoalan di sektor manufaktur nasional bukan cerita baru dan terbilang fundamental. Dengan begitu, jelasnya, perlu penanganan struktural dan jangka panjang untuk memulihkannya.
Kendati begitu, dia menilai sektor manufaktur perlu diberi solusi jangka pendek untuk meningkatkan kinerja, setidaknya hingga akhir tahun ini.
"Saya pikir kalau ini tidak diatasi dalam jangka waktu dekat, ini akan terus turun permintaannya, walau tidak terlalu drastis. Biasanya memang pada akhir tahun akan sedikit membaik, tetapi sebelum itu masih akan ada penurunan," ujarnya kepada Bisnis, Senin (30/9/2019).
Faisal menjelaskan hingga akhir tahun ini kinerja ekspor manufaktur nasional dihadapkan pada tantangan global atau eksternal akibat perang dagang. Kinerja manufaktur, jelasnya, masih dapat ditopang dengan tingginya permintaan dalam negeri, terlebih lagi dengan adanya perhelatan pemilihan umum dan hari raya.
Namun, pada semester II/2019, Faisal mengatakan permintaan dari dalam negeri pun mulai lesu bagi produk hasil olahan industri.
"Ini terbukti dugaan kami, seperti juga terungkap dalam Purchasing Management Index [PMI] yang dirilis Nikkei, bahwa manufaktur menurun, salah satunya karena permintaan dalam negeri Indonesia yang kurang," ujarnya.
Dalam jangka pendek, Faisal berharap pemerintah memperkuat diplomasi dengan sejumlah negara tujuan ekspor untuk mengerek kinerja manufaktur nasional. Hubungan bilateral, jelasnya, bisa menghilangkan hambatan-hambatan ekspor yang selama ini mengadang produk Indonesia.
Di samping itu, jelasnya, harmonisasi dan deregulasi sejumlah kebijakan perlu direalisasikan untuk mendukung kinerja ekspor manufaktur.
Direktur Industri Elektronik dan Telematika Kementerian Perindustrian R. Janu Suryanto memperkirakan nilai ekspor produk elektronika masih bisa berbalik positif pada akhir tahun ini, kendati pada periode Januari - Agustus 2019 masih turun hingga kisaran 4%.
Padahal, jelasnya, pada periode yang sama realisasi impor produk elektronika dan telematika sudah turun sekitar US$800 juta atau 10% dibandingkan realisasi Januari - Agustus 2018.
Janu pun tetap optimistis kinerja ekspor itu bisa berbalik positif lantaran meningkatnya permintaan dari luar negeri ke sejumlah produsen elektronika nasional.
"Akhir 2019, mestinya sudah ada kenaikan. Saya berharap [nilai ekspor elektronika] naik," ujarnya kepada Bisnis, Senin (30/9/2019).
Badan Pusat Statistik menyatakan nilai ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari – Agustus 2019 mencapai US$82,91 miliar. Realisasi itu menurun 4,33% dibandingkan periode yang sama pada 2018 yang tercatat senilai US$86,66 miliar.
Sebagian besar sektor manufaktor pada periode itu mengalami penurunan kinerja ekspor. Realisasi ekspor sektor mesin/peralatan listrik dan alas kaki melanjutkan kinerja merah pada bulan sebelumnya.
Pada Januari - Agustus 2019, nilai ekspor mesin/peralatan listrik mencapai US$5,55 miliar atau menurun sekitar 4,62% sebab pada periode yang sama tahun lalu nilai ekspornya mencapai US$5,82 miliar. Pada periode yang sama, nilai ekspor produk alas kaki terkoreksi 12,69%.