Bisnis.com, JAKARTA – Dewan Karet Indonesia (Dekarindo) menyatakan kenaikan harga gas akan membuat kinerja industri sarung tangan karet semakin tertekan.
Menurut Dekarindo, kenaikan harga gas sebelumnya telah membuat 14 dari 15 industri sarung tangan karet di Medan, Sumatra Utara gulung tikar.
Dekarindo mendata pabrikan sarung tangan karet di dalam negeri hanya ada enam unit dengan kapasitas terpasang yang tidak berubah sejak 2014 yakni 12.000 ton per tahun. Adapun, utilitas produksi pada 2018 anjlok dari level 80,5% pada tahun sebelumnya menjadi 75% atau sebanyak 9.500 ton.
“Menurut saya, kalau [kontribusi gas pada struktur biaya] untuk industri sarung tangan karet bisa 30%,” kata Ketua Dekarindo Azis Pane kepada Bisnis, Rabu (25/9/2019).
Azis mengatakan banyaknya pabrikan sarung tangan karet yang gulung tikar juga disebabkan oleh minimnya pasokan bahan baku produk tersebut yakni karet lembaran asap (ribbed smoked sheet/RSS). Adapun, RSS adalah produk tengah karet dengan nilai tertinggi.
Walaupun memegang gelar produsen karet alam terbesar di dunia, Azis mengatakan industri tengah karet tidak memiliki kemampuan untuk memproduksi RSS. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya produktivitas karet alam lokal dan keadaan infrastruktur di sekitar perkebunan karet di dalam negeri.
Azis mengatakan getah karet yang menjadi bahan baku pembuatan RSS tidak boleh menggumpal. Adapun, kondisi jalanan di sekitar perkebunan karet yang bergelombang membuat getah karet sangat mudah menggumpal saat dipindahkan ke laur area perkebunan.
Dia menyatakan minimnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan industri karet membuat produktivitas produksi getah karet domestik tidak stabil. Azis memberikan contoh bahwa fluktuasi harga karet membuat para petani tidak memberikan perhatian penuh terhadap produktivitas getah.
Terakhir, proses produksi RSS membutuhkan teknologi dan kemampuan tinggi yang tidak dimiliki para petani dan industri tengah karet. “Komoditas karet itu tidak boleh kita sandarkan untuk ekspor, tapi harus dibikin industri karet [untuk mengolah menjadi] barang jadi karet. Tapi, bagaimana mau dikembangkan [industri] hulunya tidak ada [dan] gasnya mahal,” katanya.
Menurutnya, gas berkontribusi sekitar 30% dari total biaya bagi industri sarung tangan karet, sedangkan bagi industri karet lainnya berkisar antara 2,3%-6%. Azis menilai tarif gas untuk industri sarung tangan karet seharusnya diturunkan lantaran kebutuhan sarung tangan karet oleh rumah sakit cukup banyak.
Sementara itu, manfaat harga gas tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi belum dirasakan pelaku usaha swasta.
Johnny Darmawan, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, mengatakan sampai saat ini beleid tersebut hanya diimplementasikan pada perusahaan BUMN, di industri pupuk, baja dan pupuk majemuk.
“Perusahaan swasta di sektor industri petrokimia pengolah migas, keramik, kaca, baja, oleokimia, pulp dan kertas serta makanan dan minuman sampai saat ini belum mendapatkan penurunan harga gas,” ujarnya, Rabu (25/9/2019).
Regulasi yang ditetapkan pada Mei 2016 itu mengatur harga gas bumi tertentu senilai US$6 per MMBTU. Harga tertentu itu diperuntukkan bagi pengguna gas bumi di industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan industri sarung tangan karet.
Johnny mengatakan saat ini persaingan di industri kian ketat. Pada saat yang sama, sektor manufaktur telah terbebani dengan biaya investasi yang besar, problem perizinan dan mahalnya harga gas.
Dengan begitu, biaya produksi industri di Indonesia lebih mahal dibandingkan luar negeri. Tantangan itu ditambah lagi dengan berkurangnya hambatan teknis terhadap arus impor.
Johnny mengatakan pemerintah telah beritikad baik dengan menetapkan Perpres No. 40/2016. Namun dia menilai, implementasinya masih jauh dari harapan hinggsa saat ini. "Ada inkonsistensi dalam kebijakan pemerintah terkait harga gas."
Apalagi, dia mengatakan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) telah mewacanakan kenaikan harga gas bumi kepada pelanggan segmen industri per 1 Oktober 2019.