Bisnis.com, NANNING, China — Alumina bisa jadi bernasib sama dengan nikel, yang tidak tertutup kemungkinan bakal terkena larangan ekspor.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menyebut Alumina adalah komoditas tambang utama Indonesia yang sejenis dengan nikel.
“Kalau kami pikir cukup ya kita setop [ekspornya],” ujarnya dalam forum The 16th China-Asean Business and Investment Summit 2019 (CABIS), Sabtu (21/9/2019).
Luhut menegaskan larangan ekspor bertujuan untuk memberikan dan meningkatkan nilai tambah berupa produk-produk turunan terhadap komoditas tambang, termasuk nikel dan alumina.
“Nickel ore bisa saja tidak boleh ekspor lagi. Kami belajar juga dari China,” tandasnya.
Dia menilai kebijakan pelarangan ekspor bukanlah sebuah kebijakan yang datang tiba-tiba karena pemerintah sudah jauh hari menegaskan komitmennya untuk memberikan nilai tambah terhadap raw material.
Adapun korporasi yang menggarap alumina, di antaranya yaitu PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) dan PT Cita Mineral Investindo Tbk. (CITA).
Sebelumnya, pemerintah mempercepat larangan ekspor bijih nikel dari 2022 ke 2020, yang kemudian diklaim merugikan investasi smelter yang sedang dalam proses pembangunan hingga Rp50 triliun.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey pernah memerinci saat ini Indonesia memiliki 15 smelter eksisting, 31 smelter sedang konstruksi, dan 5 smelter sedang pengajuan. Artinya, apabila semua smelter tersebut dibangun, berdasarkan catatan APNI Indonesia akan memiliki 51 smelter nikel.
Pada saat akan ada penambahan 36 smelter nikel, pemerintah malah mempercepat pelarangan ekspor nikel dari 2022 ke 2019 untuk meningkatkan nilai tambah yang diterima Indonesia. Padahal, sejumlah pemilik izin usaha pertambangan (IUP) sedang membangun smelter sebagai syarat melakukan ekspor.
Pasalnya, dengan larangan izin ekspor bijih nikel yang dimajukan ke 2019, pembangunan smelter nikel tersebut otomatis akan berhenti karena tidak adanya aliran modal.