Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa pihaknya telah mempertimbangkan seluruh aspek sebelum akhirnya memutuskan untuk meningkatkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23% pada 2020.
Hal ini ditambah lagi dengan langkah pemerintah yang memutuskan untuk tidak menaikkan tarif CHT pada 2018.
"Aspek yang sekarang sangat menonjol adalah peningkatan dari jumlah perokok muda, perokok perempuan, dan utamanya dari porsi konsumsi masyarakat miskin," ujar Sri Mulyani, Senin (16/9/2019).
Untuk diketahui, prevalensi perokok secara global meningkat dari 32,8% menjadi 33,8%. Perokok usia anak dan remaja juga mengalami peningkatan dari 7,2% menjadi 9,1%, perokok perempuan juga meningkat dari 1,3% menjadi 4,8%.
Selain masalah meningkatnya jumlah perokok, Sri Mulyani mengatakan bahwa pihaknya juga mempertimbangkan unsur tenaga kerja yakni petani tembakau dan cengkeh serta buruh industri rokok terutama sigaret kretek tangan (SKT).
Oleh karena itu, tarif CHT yang dikenakan atas industri SKT bakal lebih rendah dibandingkan dengan industri sigaret kretek mesin (SKM) yang notabene tidak menyerap tenaga kerja sebanyak industri SKT.
"Beberapa industri yang menyerap tenaga kerja seperti SKT kenaikannya sebetulnya hanya 10%. Namun, SKM yang omzetnya bisa lebih dari Rp50 miliar itu kenaikannya lebih tinggi," terang Sri Mulyani.
Terakhir, pemerintah juga terus mengupayakan untuk terus menekan peredaran rokok ilegal. Survei yang dilakukan oleh UGM menunjukkan bahwa dalam 3 tahun terakhir Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berhasil menekan peredaran rokok ilegal dari 12,1% menjadi 7% pada 2018, dan diperkirakan menjadi akan 3% pada 2019.