Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menyatakan minimnya pasokan garam industri membuat mereka harus meminta garam ke sektor industri lain, salah satunya dari industri kertas.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan pihaknya telah mengajukan kuota garam impor sejumlah 550.000 ton pada tahun ini. Akan tetapi, kuota garam impor yang disetujui untuk tahun ini adalah 300.000 ton.
Pihaknya pun meminta agar industri makanan minuman (mamin) mendapatkan tambahan garam impor sejumlah 300.000 ton pada awal semester II/2019.
Sebelumnya, Adhi mengatakan pasokan garam industri di gudang industri mamin sekitar 30.000 pada awal Juli 2019. Menurutnya, industri mamin kini menggunakan garam dari industri kertas yang belum digunakan.
“[Garam industri mamin] menipis. Saya belum cek di lapangan, tapi hari ini lagi dibahas mengenai kuota garam impor industri mamin,” katanya kepada Bisnis, Selasa (10/9/2019).
Adhi mengatakan permintaan kuota garam impor pada tahun depan akan tumbuh 5% menjadi 577.500 ton dari pengajuan tahun ini 550.000 ton.
Menurutnya, sebagian pabrikan pengolah garam telah menghentikan produksi lantaran pasokan garam impor ke industri pengolah garam habis. Garam impor berfungsi untuk menaikkan kualitas garam lokal yang diserap oleh pabrikan dengan cara dicampurkan.
Pada awal Agustus 2019, Kemenperin telah memfasilitasi penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Penyerapan Garam Lokal tahun 2019-2020. Dari MoU ini, garam lokal akan diserap oleh industri sebanyak 1,1 juta ton. Target tersebut meningkat dari capaian serapan tahun lalu sebesar 1.053.000 ton.
Kesepakatan tersebut sebagai wujud nyata dari kerja sama antara 11 industri pengolah garam dengan 164 petani garam di dalam negeri. Para petani garam itu berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan neraca garam nasional, kebutuhan garam nasional tahun 2019 diperkirakan sekitar 4,2 juta ton. Jumlah tersebut terdiri dari kebutuhan industri sebesar 3,5 juta ton, konsumsi rumah tangga 320.000 ton, komersial 350.000 ton, serta peternakan dan perkebunan 30.000 ton.