Bisnis.com, JAKARTA — Perluasan sektor lapangan kerja yang bisa diisi oleh tenaga kerja asing (TKA) dinilai tidak akan berdampak pada peluang serapan tenaga kerja di Indonesia.
Sekadar catatan, Kementerian Ketenagakerjaan baru-baru ini menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 228/2019 tentang Jabatan Tertentu yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing.
Dengan disahkannya aturan itu pada 27 Agustus 2019, regulasi-regulasi yang berkaitan dengan posisi tenaga kerja asing sudah tidak diberlakukan.
Secara keseluruhan terdapat 18 sektor yang bisa diisi oleh tenaga kerja asing. Tujuh di antaranya merupakan sektor baru yang bisa diisi oleh TKA, yaitu, sektor real estate, keuangan dan asuransi, kesehatan manusia dan aktivitas sosial, informasi dan telekomunikasi, pertambangan dan penggalian, pengadaan listrik serta profesional, ilmiah dan teknis.
Menanggapi beleid tersebut, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga Hadi Subhan mengatakan, TKA yang boleh memasuki sektor-sektor tersebut adalah yang memiliki keahilan khusus.
"Sehingga tidak terlalu signifikan [dampaknya] bagi pengurangan kesempatan kerja tenga kerja lokal. Namun, yang menjadi masalah di lapangan adalah perluasan sektor tersebut diisi oleh TKA yang tidak berkeahlian," katanya kepada Bisnis.com, belum lama ini.
Baca Juga
Dengan demikian, dia mendesak pemerintah melakukan pengawasan ketat dalam mengimplementasikan beleid tersebut agar TKA yang dipekerjakan benar-benar sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan.
"Selama ini pengawasan ketenagakerjaan tidak efektif. Harus diawasi nanti implementasinya; yang mana mengisi TKA bukan jabatan pekerjaan seperti yang terlampir dalam kepmenaker tersebut."
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) M. Rusdi mengkritisi adanya regulasi tersebut. Menurutnya, selama ini pihak pemerintah tidak pernah mengajak diskusi perihal kebijakan terkait tenaga kerja.
“Secara prosedur, kebijakan ini cacat prosedur karena tidak melibatkan LKS perspektif para pekerja,” katanya kepada Bisnis.com.
Selain itu, dia menilai kepmen yang dikeluarkan pada 27 Agustus tersebut berpotensi mengurangi peluang pekerja Indonesia. Apalagi, sejak 2015, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi sampai saat ini belum ada solusinya.