Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia harus memanfaatkan momentum pengembangan kendaraan listrik dengan segera melaksanakan pelarangan ekspor bijih nikel berkadar rendah.
Apalagi Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki deposit nikel terbesar di dunia, sehingga diharapkan mampu memproduksi baterai mobil listrik dengan harga terjangkau.
Jonatan Handojo, Pendiri Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), mengatakan wacana pemerintah untuk mempercepat pelarangan ekspor bijih nikel berkadar rendah pada 2020 juga bertujuan mengantisipasi industri mobil listrik. Pasalnya, baterai untuk mobil listrik menggunakan nickel metal hydrate dengan kadar nikel lebih dari 70%.
"Nah, dengan posisi Indonesia yang memiliki deposit nikel besar di dunia harus memanfaatkan momen ini [secepatnya]," ujarnya, Selasa (3/9/2019).
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM, Indonesia memiliki cadangan terbukti untuk bijih nikel sebesar 698 juta ton dan cadangan terkira sebesar 2,8 miliar ton.
Jonatan berharap pemerintah agar segera merealisasikan pelarangan tersebut, bahkan jika bisa sebelum Presiden Joko Widodo dilantik pada Oktober mendatang. Dia menuturkan jika ekspor bijih nikel diberikan kelonggaran hingga akhir tahun, nikel ore yang dinikmati negara lain bakal semakin besar.
Selama ini Indonesia hanya mendapatkan royalti dari penjualan bijih nikel dengan harga yang hanya sebesar US$22 per ton.
Melalui percepatan moratorium ekspor nikel ore, Jonatan juga meyakini bahwa baterai mobil listrik produksi Indonesia akan lebih murah dibandingkan dengan baterai produksi luar negeri mengingat deposit nikel yang ada di Indonesia.
"Baterai untuk mobil listrik buatan Indonesia pasti lebih murah dari baterai mobil Tesla yang sangat mahal itu," katanya.