Bisnis.com, JAKARTA–Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih belum mampu menghitung dampak penurunan asumsi Indonesia Crude Price (ICP) terhadap pendapatan negara.
Seperti diketahui, Menteri ESDM Ingnasius Jonan mendadak mengusulkan ICP menjadi US$60 per barel, bukan US$65 per barel sebagaimana yang tertuang dalam RAPBN 2020.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu enggan berkomentar banyak mengenai penurunan tersebut.
Segala asumsi yang terdapat dalam Nota Keuangan RAPBN 2020 merupakan bahan diskusi dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dan nantinya akan terus berproses.
"Nanti akan kita diskusikan di Banggar, yang diajukan di nota keuangan adalah US$65 per barel maka kita tunggu saja," ujarnya, Rabu (28/8/2019).
Di lain pihak, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN) BKF Hidayat Amir menerangkan bahwa pendapatan negara tidak hanya dipengaruhi oleh ICP saja, tetapi juga nilai tukar rupiah terhadap dolar dan lifting minyak.
Apabila lifting minyak meningkat, bisa saja pendapatan negara tidak terlalu terdampak akibat dari penurunan ICP tersebut.
Untuk diketahui, asumsi lifting minyak dalam RAPBN 2020 dipatok di angka 734.000 barel per hari. Angka ini terus turun sejak 2016 di mana lifting minyak terealisasi mencapai 829.000 barel per hari.
Adapun untuk nilai tukar rupiah terhadap dolar pada 2020 diasumsikan pada angka Rp14.400 per dolar, lebih lemah dibandingkan dengan outlook 2019 yang mencapai Rp14.250 per dolar.
Penurunan ICP ke depannya bakal berdampak pada PPh Migas dan PNBP SDA yang sebagian besar ditopang oleh PNBP Migas.
PPh Migas untuk 2019 ditargetkan di angka Rp55,01 triliun, sedangkan PNBP Migas sendiri mencapai Rp120,61 triliun dengan PNBP minyak bumi mencapai Rp90,82 triliun.