Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri menilai kenaikan tarif gas akan melemahkan daya saing produk manufaktur di pasar lokal maupun global. Pemerintah pun diminta segera mengintervensi.
Asosiasi Kimia Dasar Anorganik (Akida) menilai penaikan tarf gas tidak wajar lantaran tarif gas di dalam negeri masih lebih tinggi dari negara-negara di Asia Tenggara. Dia berharap pemerintah melakukan intervensi dalam menentukan tarif gas.
“Karena ini punya efek bola salju yang positif untuk pertumbuhan ekonomi,” ujar Ketua Akida Michael Susanto Pardi, Senin (26/8/2019).
Akida akan membuat surat resmi kepada pemerintah untuk menolak kenaikan harga gas industri. Pasalnya, Sekretariat Negara belum memberikan tanggapan terhadap surat yang dilayangkan Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB).
Michael mengatakan tarif gas saat ini telah membuat sebagian industri yang menggunakan gas secara masif telah mengalami kesulitan untuk bersaing dengan produk impor.
“Jadi, untuk pasar lokal saja kami kewalahan bertahan, apalagi untuk ekspor. Saya kurang mengerti kenapa PGN [PT Perusahaan Gas Negara] menaikkan harga gas [karena] bertolak belakang dengan rencana pemerintah untuk menurunkan harga gas,” katanya
Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) yang terdiri dari 20 asosiasi manufaktur dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menyatakan permohonan pada pemerintah agar menurunkan tarif gas seperti yang dituliskan pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Dalam arahan tersebut, harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna dan harga lebih tinggi dari US$6 MMBTU.
Ketua Umum FIPGB Achmad Saifun dalam surat resmi ke Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan saat ini tidak ada perubahan terhadap harga jual gas yang lebih tinggi pasca penerbitan Perpres No.40/2016. Achmad mengatakan harga gas yang ditetapkan di dalam negeri masih menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara.