Bisnis.com, JAKARTA — Ekspor produk kelapa sawit Indonesia menuju Jepang, terkendala oleh adanya ketentuan sertifikasi yang diminta oleh negara tersebut.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan, saat ini Jepang sedang gencar mencari produk nabati yang dapat dijadikan pengganti nuklir sebagai bahan bakar pembangkit listriknya.
Produk yang dibidik Jepang tersebut adalah cangkang sawit.
“Jepang menyebutkan, boleh menggunakan bahan nabati apa saja untuk dijadikan bahan bakar pengganti nuklir. Namun, khusus untuk produk sawit, harus menggunakan sertifikat. Dalam hal ini sertifikat yang mereka rujuk adalah Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO),” ujarnya, Rabu (7/8/2019).
Hal tersebut, menurutnya, menjadi kendala tersendiri lantaran mayoritas produsen sawit Indonesia saat ini telah menggunakan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Di sisi lain, produk sawit masih diberlakukan secara berbeda dibandingkan produk minyak nabati lain.
Adapun, lanjutnya, Jepang, memberikan jangka waktu dua tahun sejak 31 Maret 2019 untuk produk sawit Indonesia menggunakan sertifikat ISPO sebagai syarat ekspor ke negara itu.
“Kami maunya jangan dua tahun saja diperbolehkan menggunakan sertifikat ISPO, namun sampai seterusnya. Sebab, ISPO justru lebih baik dibandingkan RSPO," tambahnya.
Dia mengatakan, saat ini Indonesia sedang berupaya bernegosiasi dengan Jepang mengenai penggunaan ISPO sebagai syarat ekspor produk cangkang sawit. Berdasarkan data Komisi ISPO, dari 746 badan usaha yang mengikuti sertifikasi ISPO, 502 di antaranya telah mendapatkan sertifikat tersebut.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kanya Lakhsmi mengatakan, Jepang masih membuka diri terkait penggunaan ISPO sebagai persyaratan sertifikat aspek keberlanjutan sawit Indonesia.
Pelaku usaha, lanjutnya, terus memberikan masukan kepada Pemerintah Negeri Sakura mengenai kelebihan yang dimiliki ISPO.
“Mungkin, ketentuan yang diberikan Jepang mengenai harus menggunakan sertifikat RSPO karena mereka mengacu pada sertifikat yang banyak diberlakukan di berbagai negara. Namun, ketika Jepang kami beri tahun mengenai ISPO, mereka mulai membuka diri,” jelasnya.
Menurutnya, Jepang sedang melakukan kajian mengenai ISPO sebagai syarat sertifikat produk cangkang sawit yang mereka impor. Jepang pun juga sedang meneliti penggunaan sertifikat lain seperti Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO).
Dia menyebutkan, apabila Jepang menerima ISPO sebagai syarat importasi cangkang sawit, maka akan menjadi peluang bagi Indonesia untuk mempromosikan sawit sebagai produk nabati yang berkelanjutan.
“Kalau untuk berapa besaran potensi ekspor cangkang sawit ke Jepang, sepertinya masih kecil. Sebab, mereka masih memetakan mengenai aspek keberlanjutan dan lingkungan hidup dari produk tersebut. Namun, kalau nanti Jepang sudah membuka diri terhadap ISPO, saya rasa potensi ekspornya akan sangat besar,” pungkasnya.