Bisnis.com, JAKARTA – Setelah kurang lebih 8 bulan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuannya, akhirnya Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 17–18 Juli 2019 memutuskan untuk menurunkan tingkat suku bunga acuan.
BI memutuskan menurunkan tingkat BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) dari 6,0 persen menjadi 5,75 persen, suku bunga Deposit Facility menjadi 5,0 persen dari yang sebelumnya 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility turun menjadi 6,5 persen dari sebelumnya 6,75 persen.
Keputusan ini yang ditunggu-tunggu para pelaku ekonomi setidaknya dalam dua bulan terakhir. Harapan sebagian besar pelaku ekonomi terhadap penurunan suku bunga acuan BI ini didasari pada kondisi perekonomian Indonesia yang diyakini sudah cukup kuat dan stabil. Pertumbuhan ekonomi sudah mulai stabil di kisaran angka 5 persen dan beberapa variabel makro ekonomi lainnya memperlihatkan tren pergerakan yang cukup meyakinkan.
Pergerakan inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang 2019 relatif stabil. Bahkan tingkat inflasi sepanjang bulan puasa dan menjelang Idulfitri hanya mencapai 0,68 persen (mtm) atau 3,32 persen (y-o-y). Padahal rata-rata dalam lima tahun terakhir inflasi menjelang hari raya Idulfitri mencapai 0,77 persen (mtm). Selain tingkat inflasi yang relatif rendah, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara keseluruhan stabil di Rp14.000–Rp14.200.
Ekspektasi positif para pelaku usaha dalam negeri ini juga terlihat dari realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang naik signifikan. Realisasi PMDN pada kuartal II/2019 mencapai Rp95,6 triliun, naik 9,6 persen dibandingkan dengan kuartal I/2019 atau naik 18,6 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2018.
Penanaman Modal Asing
Baca Juga
Hal sebaliknya terjadi pada Penanaman Modal Asing (PMA). Pada kuartal II/2019 realisasi PMA hanya Rp104,9 triliun. Bila dibandingkan dengan periode yang sama 2018, realisasi PMA pada kuartal II/2019 ini naik 9,6 persen. Namun jika dibandingkan dengan realisasi PMA pada kuartal I/2019 maka realisasi PMA pada kuartal II/2019 menurun 2,3 persen.
Kenaikan yang cukup besar pada realisasi PMDN dan turunnya realisasi PMA menandakan bahwa para pelaku ekonomi dalam negeri memiliki optimisme yang sangat besar terhadap perekonomian nasional.
Walaupun variabel makro ekonomi Indonesia sudah memperlihatkan adanya stabilitas yang cukup meyakinkan, risiko ekonomi politik global masih menjadi awan kelabu yang membayangi perekonomian nasional.
Oleh karena itu, meski BI sudah berani menurunkan tingkat suku bunga acuannya tetapi bank sentral sepertinya masih tetap berhati-hati. Hal ini tergambar dari besaran penuruan suku bunga acuan yang masing-masing hanya sebesar 25 bps. Bagi BI, penurunan tingkat suku bunga acuan bank sentral ibarat makan buah simalakama.
BI dihadapkan pada pilihan yang tidak ideal yaitu kepentingan untuk menjaga stabilitas atau memberikan stimulus ekonomi, terutama bagi sektor riil. Saat ini, penurunan suku bunga acuan merupakan pilihan paling rasional bagi bank sentral. Namun BI harus tetap bersikap hati-hati terhadap kondisi global.
Pertumbuhan Ekonomi Global
Ekonomi dunia pada 2020 mendatang diperkirakan hanya tumbuh 3,6 persen, lebih rendah 0,1 persen dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya. Negara-negara besar yang sebelumnya tumbuh tinggi diperkirakan mengalami hal serupa. Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan kembali turun menjadi 6,1 persen dari sebelumnya 6,3 persen.
Amerika Serikat yang pada 2018 mengalami pertumbuhan ekonomi 2,9 persen diperkirakan hanya tumbuh 1,9 persen pada 2020. Bahkan pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2020 hanya akan mencapai 0,5 persen. Perlambatan ekonomi global ini diperparah dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan dunia dan risiko negara-negara berkembang seiring dengan tidak kunjung selesainya eskalasi perang dagang AS–China. Ditambah pula dengan meningkatnya ketegangan AS dan Iran.
Stimulus Kurang Efektif
Melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia yang disebabkan oleh tingginya risiko geopolitik ekonomi global tentu akan menghantam negara-negara yang pertumbuhan ekonominya mengandalkan eskpor barang dan jasa. Dalam kondisi seperti ini stimulus yang diberikan untuk sektor riil dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan bisa menjadi kurang efektif, karena kondisi pasar yang masih kurang bergairah.
Di tengah masih tingginya ketidakpastian ekonomi politik global, BI melihat adanya peluang, celah, dan momentum ekonomi yang bisa digunakan untuk menggenjot perekonomian nasional, terutama setelah melihat perkembangan investasi dari para pelaku usaha dalam negeri. Dari sisi ekonomi global, langkah The Fed yang masih menahan suku bunga acuannya di kisaran 2,25 persen–2,50 persen bisa menjadi kesempatan BI tetap menjadikan suku bunga kompetitif.
*) Tulisan opini dari Agus Herta Sumarto ini sebelumnya dimuat di Harian Bisnis Indonesia edisi Selasa (6/8/2019).