Salah satu tantangan terberat manusia adalah saat kehidupannya yang dianggap biasa saja dan tidak punya apa-apa tiba-tiba berubah menjadi lebih dari sekadar berkecukupan. Sindrom seperti ini juga menyerang petani sawit.
Mereka akan dihadapkan pada berbagai pilihan untuk menggunakan uang lebih dari biasanya. Apakah akan diputar untuk kepentingan bisnis lain atau hanya untuk foya-foya? Kalaupun dipastikan demi usaha, pertanyaan selanjutnya, sejauh apa persiapan dan bagaimana menjaga usaha sebelumnya?
Kasus petani untuk sertifikasi minyak sawit berkelanjutan di bawah pelatihan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ada yang berakhir tidak bahagia. Bahkan ada yang sampai harus berebut uang.
Pengalaman yang baik patut ditiru dari Sutiyana. Dia adalah Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Tani Subur, Desa Pangkalan Tiga, Kotawaringin Barat (Kobar) Kalimantan Tengah.
Akhir 2015, dia mengajak petani sawit mandiri untuk mengikuti program sertifikasi sawit berkelanjutan di bawah organisasinya. Mereka harus berada dalam satu kelompok karena hal itu merupakan salah satu syarat.
Sebenarnya, koperasi yang dia pimpin memiliki petani eks plasma, tapi dia sengaja memilih swadaya karena tujuan utamanya adalah sertifikasi untuk pengelolaan sawit yang baik.
Baca Juga
Sutiyana, Ketua KUD Tani Subur.
Hal ini belum dimiliki petani mandiri. Jika tercapai, keuntungan mendapat harga tandan buah segar sawit (TBS) tinggi adalah bonus.
Tidak mudah mengajak petani ini. Pikiran yang ingin instan dan sulit mengubah kebiasaan jadi kendala utama.
Setelah melalui proses panjang akhirnya terkumpul 190 anggota dengan total luas lahan mencapai 300 hektare (ha). Mereka pun diajarkan bagaimana bertani mengikuti standar.
Hasilnya cukup signifikan karena mereka mengalami kenaikan panen mencapai 50 persen dan harga TBS selalu tinggi. Lahan tersebut bisa mendapatkan Rp300 juta lebih.
Setelah berhasil, semua petani yang ada di desa dirangkul pada tahun kedua. Terkumpul 1.420 ha lahan dan menghasilkan total pendapatan kotor Rp2,2 miliar.
Uang sebanyak itu dia tidak mau buat hura-hura. Yana membagi beberapa keuntungan untuk tiga bagian, yaitu operasional, perawatan, dan pembangunan.
Dia kemudian berpikir untuk membuat wisata di tengah hutan sawit. Jadilah 23 ha untuk hiburan warga sekitar.
Maklum, di Kotawaringin Barat minim wahana bermain. Tidak heran sumbangan pariwisata tidak sampai 1 persen dari pendapat asli daerah (PAD).
Agrowisata yang didirikannya memiliki kolam renang, wahana petualangan, dan memancing. Tiketnya dipatok antara Rp15.000—Rp20.000.
Dari sini, KUD mendapat Rp2,2 miliar di tahun pertama. Bahkan pada 4 hari libur raya lalu, ada pendapatan senilai Rp700 juta.
Tidak sampai merambah wisata, Yana bersama anggota bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) membeli 700 ekor ayam petelur bulan ini. Pakannya berasal dari limbah pokok sawit.
Karena koperasinya dikatakan sukses, banyak masyarakat dari luar pulau datang untuk belajar. Yana lalu memanfaatkan peluang untuk membuat penginapan.
Selain itu, pangkalan tabung gas 3 kilogram (kg) juga tengah dalam proses. Semuanya direncanakan ada tahun ini. Usaha terakhir yang akan dibangun adalah wisata kuliner dengan model tempo dulu.
Berkaca dari pengalamannya, Yana ingin agar seluruh petani di desa-desa Kobar tersertifikasi. Ini demi menyejahterakan masyarakat dan membuat kota maju.
“Kalau satu desa saja bisa dapat Rp2 miliar, maka 11 desa di satu kecamatan bisa mendapatkan Rp22 miliar. Ini sama saja dengan DD ADD [dana desa dan alokasi dana desa],” katanya.
Bupati Kobar Nurhidayah menjelaskan petani sawit adalah pekerjaan mayoritas dengan jumlah mencapai 40 persen. Mereka menyumbang sekitar Rp700 juta dari Rp7,5 miliar pendapatan asli daerah.
Sayang, isu antisawit di luar negeri sedang gencar. Tentu itu membuat petani, khususnya di Kobar, kebakaran jenggot. Oleh karena itu, upaya sertifikasi kelapa sawit ini bisa menjadi secercah harapan untuk terus bertahan bagi mereka.
Tentu sawit tidak boleh menjadi satu-satunya gantungan hidup. Nur sedang mencoba mendorong masyarakat mencari komoditas lain yang potensial.
Kopi salah satu upaya yang akan dikembangkan. “Kalau sewaktu-waktu sawit menjadi bom waktu, kita harus berjaga-jaga,” jelasnya.
Direktur RSPO Indonesia Tiur Rumondang menuturkan bahwa metode pendekatan yuridis adalah upaya cepat agar petani swadaya mampu mendapatkan sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan. Biaya yang mahal dan proses yang panjang diakuinya menjadi faktor keengganan mereka mendaftarkan diri.
Tantangan saat kelompok sudah tersertifikasi adalah bagaimana mereka bisa menjaga 5 tahun pertama hingga mendapat cap berkelanjutan lagi. 5 tahun selanjutnya diharapkan kelompok bisa mempertahankan kualitas dan menjamin pendapatan dan produksinya stabil.
Jika itu bisa dilalui, ke depannya tidak sulit. “Masuk sertifikat standar RSPO bukan hanya ingin mendapatkan harga premium, tapi juga kelebihan yang lain, yaitu sertifikasi dan pengetahuan. Ini menurut saya lebih sustainable dari pendapatan,” ucapnya.