Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Harus Awasi Bisnis Virtual Hotel Operator

Kehadiran virtual hotel operator (VHO) dan semacamnya seharusnya mengikuti standar yang sudah diatur di Indonesia.
Ilustrasi aplikasi pesan hotel./Husin Parapat
Ilustrasi aplikasi pesan hotel./Husin Parapat

Bisnis.com, JAKARTA – Kehadiran bisnis platform digital untuk pemesanan hotel, virtual hotel operator, dan sejenisnya meramaikan industri perhotelan di dunia, termasuk di Indonesia. Nama-nama platform digital seperti Airbnb, Airy, OYO, dan sebagainya menjadi lebih akrab di telinga, sekaligus di genggaman gawai para pengguna hotel.

“Pada intinya yang namanya bisnis pasti bebas berkompetisi, hanya saja kehadiran virtual hotel operator (VHO) dan semacamnya seharusnya mengikuti standar yang sudah diatur di Indonesia,” kata Maulana Yusran, Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) belum lama ini.

Standarnya, menurut dia, perusahaan virtual hotel operator (VHO), online travel agency (OTA), atau manajemen hotel berbasis online harus mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku untuk berusaha di Indonesia. “Dalam hal ini pemerintah seharusnya memiliki peran yang sangat dominan untuk mengatur dan mengawasi,” kata Maulana.

Setiap perusahaan baik asing maupun dalam negeri yang melakukan kegiatan bisnis di Indonesia seharusnya memiliki badan usaha tetap. “Jadi mereka tidak bisa mengambil keuntungan begitu saja, tetapi tidak memiliki kantor di sini,” ujarnya lagi. Menurutnya Indonesia tidak memperoleh keuntungan yang seharusnya diterima karena lemahnya pengawasan terhadap aturan yang berlaku.

Kehadiran VHO juga seharusnya mengikuti Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Usaha Pariwisata, yang kini telah diubah menjadi Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Pariwisata. “Nah, apakah VHO, OTA, dan sejenisnya itu sudah memilik tanda daftar perusahaan (TDP)? Jadi jangan sampai akomodasi yang mereka jual tidak memiliki izin yang sesuai dengan aturan pemerintah,” ujarnya.

PHRI tidak mendukung adanya rumah, apartemen, dan kos diubah menjadi akomodasi dan kemudian disewakan. “Karena bisnis akomodasi itu harus memiliki izin analisis dampak lalu lintas (andalalin), upaya pengelolaan lingkungan (UKL), upaya pemantauan lingkungan (UPL), dan banyak hal yang terkait dengan itu,” katanya lagi.

Dalam pemantauan PHRI, justru banyak platform hotel virtual ini tidak diawasi pelaksanaannya sehingga mereka tidak mengikuti aturan yang berlaku. “Kalau rumah dijadikan sarana akomodasi, bagaimana dampak lingkungannya? Tata ruang kita sudah mengatur tentang lingkungan perumahan dan lingkungan bisnis,” katanya.

PHRI meminta pemerintah agar lebih ketat lagi mengawasi sistem bisnis berbasis digital platform tersebut.

Jadi ada dua sisi yang harus dibenahi. Pertama, pemerintah harus lebih mengawasi soal kehadiran bisnis VHO. Kedua, pihak VHO harus mengikuti aturan bisnis yang ditetapkan pemerintah. “Masalahnya memang pemerintah tidak melakukan pengawasan padahal aturannya sudah lengkap dan bagus,” katanya lagi

PHRI menilai bahwa tidak ada data yang jelas terkait peningkatan kunjungan wisatawan dengan kehadiran VHO, walaupun selama ini banyak beredar klaim bahwa eksistensi VHO meningkatkan jumlah wisatawan pada suatu daerah.

Maulana mengatakan bahwa ketidakjelasan data dan pertumbuhan wisatawan menjadi tidak terdata karena tidak mengikuti regulasi. “Kami bukannya antipati, tetapi pemerintah harus mengawasi dengan ketat agar pendapatan negara tidak bocor,” ujarnya.

PERSAINGAN TIDAK SEHAT

“Katakanlah seseorang hanya menyewakan 5 kamar di rumahnya, apakah membutuhkan SDM profesional seperti di hotel? Tentu tidak, tetapi harga kamarnya bisa mahal,” kata Maulana lagi. Hal ini tentu menciptakan persaingan bisnis yang tidak sehat dan tidak seimbang dengan pelaku bisnis hotel.

Walau begitu, Maulana mengakui bahwa sebagian anggota PHRI juga bekerja sama dengan pihak VHO, OTA, dan manajemen hotel virtual lainnya. “Bagi kami sebagai pengusaha, penjualan harus tetap dilakukan secara proporsional, kita juga tidak mau kehilangan pasar,” ujarnya.

Dia mengatakan bahwa pembiaran dari pemerintah dan pembenaran dari pihak VHO tidak dipungkiri memaksa pelaku hotel juga mengikuti zaman. “Mau tidak mau, pasti ada yang ikut dan kita tidak bisa membatasi itu. Mungkin dari 100 kamar, 10 dibuka untuk VHO begitu,” katanya lagi.

Dia mengatakan bahwa pelaku bisnis hotel harus tetap terbuka dengan sarana pemasaran di era digital.

Bagaimana dengan perang tarif dalam industri perhotelan konvensional setelah kehadiran OTA,VHO, dan sejenisnya? Maulana mengatakan bahwa persaingan harga justru terjadi di antara sesama platform, sementara pihak hotel akan selalu memberikan harga sesuai standar.

“Misalnya hotel menjual kamar dengan tarif Rp500 ribu/kamar, lalu dijual oleh pihak OTA atau VHO dengan harga sangat murah. Itu bukan pihak hotel yang menurunkan standar harga, tetapi persaingan masing-masing OTA dan VHO menjual dengan harga paling murah,”katanya.

Harga-harga promo yang disukai konsumen itu biasanya ditanggung oleh pihak VHO. Justru perang tarif tidak terjadi antarhotel, tetapi di antara sesama platform VHO, OTA, dan sejenisnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper