Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengatakan, produk kertas Indonesia masuk dalam daftar 5 besar komoditas ekspor RI yang paling sering terkena hambatan dagang berupa dumping dansubsidi di negara tujuan ekspor.
Untuk itu, lanjutnya pemerintah terus berusaha melakukan pembelaan ke negara tujuan ekspor, di mana salah satunya telah berhasil dilakukan terhadap produk kertas tidak dilapisi (uncoated paper) menuju Korea Selatan.
Adapun, produk yang diperiksa Komisi Perdagangan Korsel (Korean Trade Commission/KTC) tersebut adalah kertastidak dilapisi dengan berat tidak kurang dari 60 gram/m2 dan tidak lebih dari 150g/m2 serta termasuk kertas ukuran A3, A4, B4, B5.
Dalam proses penyelidikan oleh KTC tersebut, selain Indonesia negara lain seperti Brasil dan China juga turut diperiksa.
Berdasarkan salinan keputusan KTC yang diterima Bisnis.com, aktivitas ekspor kertas tidak dilapisi yang dilakukan oleh Indonesia, Brasil dan China menuju Korsel tidak terbukti menimbulkan kerugian materiil terhadap industri domestik.
Bukti tersebut, diperoleh setelah KTC menggelar penyelidikan sejak 18 Oktober 2018 dan sidang dengar pendapat publik pada 20 Februari 2019.
“Kami berharap dengan adanya keputusan Korsel ini, ekspor produk kertas Indonesia tidak lagi mendapatkan hambatan menuju ke Korsel. Produk kertas Indonesia juga bisa berkompetisi secara normal kembali dengan produk asal Brasil dan China, mengingat besarnya potensi pasar di Korsel,” jelasnya kepada Bisnis.com, Minggu (21/7/2019).
Dia mengatakan, para eksportir kertas dan pemerintah Indonesia terus memberikan masukkan dan pembelaan kepada KTC mengenai produk kertas tersebut, sejak inisiasi pemeriksaan dugaan dumping pertama kali dilakukan pada 18 Oktober 2018.
Indonesia mengklaim, produk yang dijual ke Negeri Ginseng, tidak dikenakan upaya dumping demi memenangkan persaingan pasar di negara tersebut.
Pradnyawati mengatakan, dengan adanya kebijakan terbaru Korsel tersebut, Indonesia berhasil mengamankan ekspor kertas tidak dilapisi ke Korsel sebesar US$3 juta per bulannya dan volume ekspor sebanyak 4.000 ton tiap bulannya.
Kini, lanjutnya, pemerintah juga akan berjuang untuk melakukan upaya perlindungan perdagangan atas produk kertas fotokopi A4 asal Indonesia yang dikenai bea masuk antidumping (BMAD) oleh Australia.
Dia mengatakan, kasus tersebut saat ini telah dibawa Indonesia ke meja sidang di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Selain itu, dia melanjutkan, Indonesia juga tengah memperjuangkan produk kertas RI yang diekspor ke AS untuk bebas dari pengenaan BMAD melalui gugatan ke WTO.
Sementara itu, untuk praktik pengenaan BMAD kertas di Pakistan, pemerintah negara tersebut telah sepakat untuk menetapkan ketentuan baru yang jauh lebih adil.
“Kami optimistis dapat memenangkan sengketa dagang di sektor kertas, karena terbukti produk kita selama ini tidak seperti yang dituduhkan negara mitra yakni dikenakan dumping,” jelasnya.
Terpisah, ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, produk kertas dan pulp menjadi salah satu komoditas yang potensial untuk digenjot ekspornya oleh Indonesia.
Namun, dia melihat, karakter produk kertas dan pulp sebagai hasil hutan, menjadikannya rawan terkena hambatan dagang nontarif seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO).
“Menurut saya, kita harus lebih waspada dengan hambatan yang bentuknya nontarif. Sebab, tren yang berkembang di dunia saat ini adalah pengenaan hambatan secara nontarif. Kalau aspek ini diabaikan, justru dampaknya lebih besar dibandingkan hambatan tarif,” ujarnya.