Bisnis.com, JAKARTA -- Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) menilai ada sejumlah hal yang perlu ditinjau ulang terkait Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2019 tentang peta jalan atau roadmap pengembangan industri rumput laut nasional 2018-2021.
Salah satu hal yang perlu dibenahi dan dinilai paling krusial adalah terkait data-data yang disajikan dalam Perpres tersebut yang pada akhirnya akan berdampak besar pada kelangsungan industri rumput laut dalam negeri.
“Di Perpres ini menurut Astruli masih banyak discrepancy [perbedaan] data,” kata Ketua Astruli Mc Donny W Nagasan kepada Bisnis, baru-baru ini.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat estimasi produksi rumput laut mencapai 10,366 juta ton basah hingga akhir 2018 dan bahkan hingga 16, 171 juta ton basah dalam target di Perpres 33/2019.
Dony menjelaskan bahwa dengan produksi 10 juta ton rumput laut basah saja, setidaknya produksi rumput laut kering bisa mencapai 1 juta ton.
Adapun, penyerapan rumput laut di dalam negeri baik untuk jenis gracilaria dan cottonii baru mencapai 130.000 ton. Sementara itu, ekspor kedua jenis rumput laut ini baru mencapai 200.000 ton.
“Lain-lain itu yang kami pertanyakan itu rumput laut jenis apa? Atau, jika itu adalah gracilaria atau cottonii, apakah oversupply?,” tambah Dony.
Lebih lanjut, dia pun menampik potensi oversupply rumput laut dalam negeri. Pasalnya, harga rumput rumput laut, contohnya cottonii di tingkat pengepul yang menjual ke industri, saat ini mencapai 28.000 per kg dari tadinya hanya sebesar 13.500 per kg pada 2017.
Pada saat yang sama, utilitas pabrik-pabrik atau unit pengolah rumput laut [UPRL] saat ini pun masih jauh dari yang seharusnya. Pihaknya mencatat, utilitas pabrik pengolah rumput laut baru mencapai 45 persen lantaran kekurangan bahan baku.
Sementara itu, jika pemerintah berencana menggenjot produksi rumput laut bernilai tambah atau yang telah mengalami pemrosesan dengan menambah jumlah UPRL, bisa terjadi kelangkaan bahan baku.
“End user bahan karaginan ini akan terus mengevaluasi substitusi produk calon pengganti karaginan karena menjadi tidak kompetitif. Pada saat itu, sudah terlambat jika baru mulai sadar akan kesalahan kebijakan oleh karena kesalahan data produksi,” ujarnya.