Bisnis.com, JAKARTA - Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indoneia oleh Bank Indonesia (BI) dipandang terlalu optimistis.
Untuk diketahui, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di bawah titik tengah 5%-5,4%.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sebelumnya pernah melakukan studi dan ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada angka 5%.
Adapun Center of Reform on Economics (Core) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 masih berkisar pada angka 5,1%-5,2%.
Sebagai pembanding, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam outlook APBN 2019 baru-baru ini memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada angka 5,2%, sedangkan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro sebelumnya mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit menembus angka 5,3% sebagaimana yang dipatok dalam APBN 2019 pada awal tahun ini.
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mengatakan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu mengawal dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan fiskal yang selama ini sudah pernah dilakukan.
Baca Juga
Penurunan suku bunga acuan yang dilakukan oleh BI harus diikuti oleh penurunan bunga kredit di perbankan.
"Di sisi BI dan OJK adalah memantau apakah dampak kebijakan ini bisa efektif menurunkan bunga, tapi di sisi lain fiskal perlu menstimulasi agar sektor rill jalan," katanya kepada Bisnis.com, Kamis (18/7/2019).
Eko mengatakan jangan sampai pertumbuhan ekonomi yang hendak dicapai oleh pemerintah hanya tampak di sektor pasar modal saja, tetapi harus tampak pula di sektor riil.
Oleh karena itu, kebijakan fiskal harus lebih menyasar ke sektor industri yang berorientasi ekspor sehingga dengan situasi global seperti sekarang ekspor pemerintah bisa tumbuh dan menaikkan cadangan devisa.
Eko mencatat kebijakan super deductible tax yang dilakukan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 45/2019 masih belum efektif karena pemerintah tidak spesifik terkait sektor industri mana yang akan disasar.
Di lain pihak, Direktur Penelitian CORE Mohammad Faisal mengatakan dengan kondisi eksternal yang masih dipengaruhi oleh perang dagang, maka iklim usaha dan daya beli domestik harus menjadi kunci dalam rangka meredam dampak volatilitas global.
"Saat ada tekanan dari sisi investasi dan perdagangan luar negeri, setidaknya konsumsi rumah tangga tetap harus dijaga. Begitu juga dengan pengeluaran pemerintah," katanya kepada Bisnis.com, Kamis (18/7/2019).