Bisnis.com, JAKARTA -- Kinerja industri ritel mengalami penurunan selama beberapa waktu terakhir. Pelaku usaha dan pengamat pun masih berbeda pandangan terkait proyeksi pertumbuhan tahun ini.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey memprediksi sektor ini bakal tumbuh hingga 10 persen sepanjang 2019, lebih tinggi dari klaim realisasi tahun lalu yang berada di kisaran 8-8,5 persen. Optimisme tersebut didasari oleh berlangsungnya Pemilu serentak di Indonesia, yang dipercaya bisa mendorong konsumsi masyarakat.
“Pasti kan di pesta demokrasi, apalagi ini yang terbesar penyatuan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg), itu kan makanan minuman dan uniform harus dibelanjakan di ritel daripada tahun-tahun sebelumnya yang tidak ada Pemilu,” paparnya kepada Bisnis, Kamis (11/7/2019).
Selain itu, pemerintahan baru hasil Pilpres 2019 diyakini dapat membawa dampak positif bagi bisnis ritel. Aprindo berharap program 100 hari yang dimiliki pemerintahan baru akan mendorong pertumbuhan industri.
Di luar itu, masih ada faktor Natal dan Tahun Baru yang diharapkan mampu mendongkrak konsumsi masyarakat.
Menurut Roy, penutupan sejumlah gerai Giant, yang dimiliki PT Hero Supermarket Tbk., tidak terkait dengan pertumbuhan ritel secara industri.
Baca Juga
“Penutupan kan justru memotong cost yang tidak produktif atau efisiensi, sehingga produktivitas perusahaan ritel itu akan lebih baik setelah efisiensi. Penutupan juga karena keputusan kebijakan dari company retail untuk menyesuaikan dengan model bisnis yang saat ini terjadi,” terangnya.
Namun, Consumer Behaviour Expert dan Executive Director Retail Service Nielsen Indonesia Yongky Susilo memperkirakan industri ritel Indonesia hanya akan tumbuh sekitar 5 persen. Dia memandang pelaksanaan Pemilu tidak banyak membawa dampak positif bagi bisnis ritel dalam negeri.
Berdasarkan perhitungan Yongky, bisnis ritel hanya tumbuh 1,4 persen sepanjang Januari-Mei 2019. Adapun pertumbuhannya tahun lalu disebut hanya 0,9 persen, jauh di bawah realisasi 2017 yang sebesar 2,5 persen dan capaian 2016 yang masih menyentuh 7,7 persen.
“Keadaan yang tidak nyaman membuat masyarakat tidak invest dan bergerak seperti biasa. Masyarakat menunggu hasil Pilpres dan akhirnya juga menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK),” ujarnya.
Pertumbuhan penjualan produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) disebut sempat bagus menjelang Idulfitri 2019. Tetapi, kondisi itu tidak diikuti bisnis ritel di bidang fesyen.
Meski demikian, situasinya diyakini membaik pada paruh kedua 2019. Pemerintahan baru dipercaya akan cepat melakukan perbaikan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan menghadirkan optimisme di kalangan pengusaha serta masyarakat.
Perbaikan yang akan dilakukan pemerintah dinilai mesti mengarah pada upaya meningkatkan konsumsi dan investasi di dalam negeri. Untuk meningkatkan konsumsi, pemerintah disarankan menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) dan menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
“Untuk mewujudkan kemudaan usaha harus ada terobosan, seperti deregulasi di level Pemerintah Daerah (Pemda), penghapusan izin-izin yang tidak perlu, proses perpajakan dibuat sangat mudah, membuka banyak sekolah vokasi bersertifikat nasional dan internasional sehingga lulusan SMA masuk institute 1,5-2 tahun sudah bisa kerja langsung,” jelas Yongky.