Bisnis.com, JAKARTA -- Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana meminta agar Indonesia menolak permintaan India untuk merelaksasi aturan impor berbagai komoditas, termasuk daging kerbau.
Menurutnya, impor daging kerbau dari India masih berbahaya untuk diperluas aksesnya di Indonesia.
“Baru awal tahun lalu, kerbau di India itu kena wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) makanya Kementan Indonesia meminta surat penjelasan ke India. Masa sekarang malah minta dibebaskan dari kuota impor,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (10/7/2019).
Di sisi lain, dia menilai, murahnya harga daging kerbau dari India, akan menekan peternak lokal Indonesia. Pasalnya, harga jual daging kerbau yang mencapai Rp60.000/kg-Rp70.000/kg akan membuat masyarakat meminati produk tersbeut dibandingkan sapi datau kerbau produksi lokal.
“Harga jual daging sapi di Indonesia yang mencapai Rp120.000/kg saja sudah tidak sesuai dengan biaya pokok produksi peternak. Kalau masih dipaksa turun dengan digelontor daging kerbau impor yang murah dari India, matilah peternak kita,” ujarnya.
Adapun, Indonesia sejatinya telah melakukan impor daging kerbau sejak tahun lalu, di mana pemerintah menetapkan kuota impor produk tersebut sebanyak 100.000 ton per tahun.
Dihubungi terpisah, Ketua Asosiasi Produsen Ban Indoensia (APBI) Azis Pane juga menolak permintaan pelonggaran impor ban dari India tersebut. Pasalnya, industri ban dalam negeri saat ini, sedang terpuruk lantaran kalah bersaing dengan produk ban murah asal China.
“Belum lagi dampak ke sektor hulu, mayoritas konsumsi karet mentah kita di dalam negeri digunakan untuk produksi ban. Tahun ini kita baru saja memulai langkah-langkah baru untuk menyerap kelebihan produksi karet mentah domestik dengan menambah industri pengolahan karet alam selain ban. Kok malah sekarang India minta dilonggarkan impornya,” ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Eksportir-Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (Aseibssindo) Khafid Sirotuddin mengatakan, produk buah seperti melon, anggur dan labu yang diminta dilonggarkan impornya oleh India memang belum dapat diproduksi masal oleh Indonesia.
“Namun, pemerintah tidak boleh lalu dengan leluasa membuka impor produk-produk itu dari luar negeri. Kita harus konsisten dengan pemberdayaan buah-buahan lokal. Kalau digelontor impor terus, preferensi konsumsi masyarakat akan berubah ke buah impor. Dampaknya petani buah kita tidak bisa menikmati pasar dalam negeri,” jelasnya.
Ekonom Indef Rusli Abdullah mengatakan, pemeirntah harus pandai dalam mengakomodasi permintaan dari negara mitra dalam kerja sama perdagangan internasional. Dia menyebutkan, pembukaan akses impor yang terlalu berlebihan dari sebuah negara akan memicu permintaan serupa dari negara lain.
“Dari India saja, sudah menunjukkan bahwa mereka merasa bisa leluasa meminta pelonggaran akses ekspor atas produk-produk mereka ke Indonesia. Hal itu terbukti dari ketika RI sudah dibukakan impor gula mentah dari India, mereka malah meminta tambahan produk lagi,” ujarnya.
Akibatnya, lanjutnya, tren defisit neraca perdagangan Indonesia yang terus melebar sejak tahun lalu, berpotensi berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Di lain sisi, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Indonesia Karyanto Suprih mengatakan, banyaknya permintaan pelonggaran akses ekspor dari negara mitra ke Indonesia merupakan hal yang wajar di tengah lesunya aktivitas perdagangan global. Namun, dia menjamin pemerintah tidak akan serampangan untuk menuruti kemauan negara mitra tersebut, dalam hal ini India.
“Kami akan perhitungkan secara pasti bagaimana dampaknya kepada industri kita. Kami tentu tidak akan membuka akses impor jika dampaknya negatif bagi industri domestik. Kami tentu juga akan mendesak India untuk melonggarkan akses ekspor produk Indonesia, sebagai bagian trade off tersebut,” jelasnya.