Bisnis.com, JAKARTA-- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). RUU EBT ini menjadi langkah untuk segera meninggalkan ketergantungan terhadap energi fosil, dan beralih ke energi baru terbarukan, sebutlah geothermal.
Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI Ridwan Hisyam, materi RUU ini sudah masuk Prolegnas dan diharapkan sudah mulai dibahas oleh anggota DPR baru pada Oktober nanti.
"Sementara ini sebelum undang-undang itu ada, sebaiknya Kementerian ESDM lebih fokus mendorong program-program EBT," jelasnya melalui keterangan resmi Kamis (4/7/2019).
Sementara itu, Wanhar, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan, Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan peluang engembangan EBT di Indonesia masih terbuka lebar. Beberapa kondisi yang memperlihatkan peluang tersebut di berbagai daerah.
Seperti rasio elektrifikasi di daerah Timur Indonesia masih bisa ditingkatkan, harga solar panel yang akan semakin kompetitif, pembangunan PLTB skala kecil yang cocok untuk daerah kepulauan, feedstock (untuk biomass/biogas) masih melimpah di beberapa daerah.
Kemudian pertimbangan lain keterlibatan masyarakat dalam penyediaan feedstock, penerapan teknologi mesin diesel dengan bahan bakar nabati (BBN), proyek hidro masih efisien sehingga tarif di sekitar biaya pokok penyediaan (BPP) masih dapat diterima.
Perjanjian jual beli tenaga listrik panas bumi dilakukan setelah ada cadangan terbukti/hasil eksplorasi, serta peningkatan penerasi EBT melaluai smart grid dan control system.
Namun begitu, pengembangan EBT juga menghadapi beberapa tantangan. Seperti BPP di beberapa wilayah Indonesia yang sudah relatif rendah, sehingga harga keekonomian pembangkit EBT umumnya di atas BPP.
Beberapa daerah memiliki kapasitas terpasang yang kecil sehingga pembangkit EBT intermittent (PLTS dan PLTB) hanya mendapatkan porsi/kuota MW yang kecil.
Sebaliknya, ada juga daerah yang sulit menerima EBT karena alasan sudah terjadi over supply. Selain itu daerah yang memiliki potensi energi yang baik relatif sedikit, namun dengan harga merujuk ke BPP dirasa kurang menarik bagi pengembang. Di luar itu, biaya eksplorasi (PLTP) terutama untuk drilling yang cukup besar ternyata, rasio tingkat keberhasilannya kecil.
Sampai saat ini, jelas Wanhar, Pemerintah sudah menandatangani beberapa komitmen terkait pengembangan EBT. Dalam Progres IPP PPA Tahun 2017 s.d. 2018 terdapat 75 kontrak yang sudah melakukan penandatanganan pembangkit EBT (PPA) dengan rincian 7 tahap COD, 32 tahap konstruksi, dan 36 dalam proses persiapan financial close.Pemerintah Indonesia saat ini terus terlibat aktif dalam memenuhi Paris Agreement melalui pelaksanaan berbagai kebijakan seputar Energi Baru Terbarukan (EBT).
Kebijakan ini merupakan bentuk tanggung jawab dalam mengontrol konsumsi energi masyarakat, sehingga menciptakan pembangunan yang berkelanjutan serta terpenuhinya energi yang terjangkau untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Guna mendukung pengembangan EBT dan memenuhi tercapainya bauran energi 23% sesuai dengan kebijakan energi nasional tahun 2025, pemerintah telah menerbitkan sejumlah kebijakan.
Melalui RUPTL 2019-2028 PT PLN (Persero), Kementerian ESDM telah menginstruksikan PLN agar terus mendorong pengembangan energi terbarukan. Dalam RUPTL terbaru ini, target penambahan pembangkit listrik dari energi terbarukan hingga 2028 adalah 16.765 MW.