Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dihadapkan dengan dilema terkait dengan rencana pemangkasan pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 20%.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah harus memilih apakah akan menurunkan rasio pajak sehingga mengurangi pendapatan negara atau merelakan sektor riil tumbuh stagnan tetapi pendapatan negara tetap tinggi.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal 1 2019 tumbuh 5,07% year-on-year (yoy), meningkat tipis dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5,06% (yoy).
Mengingat kondisi global yang masih tidak menentu, Bhima mengatakan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sulit untuk diandalkan dalam rangka menggantikan pendapatan yang hilang akibat pemangkasan PPh badan.
Dalam realisasi APBN 2019 per 31 Mei 2019, realisasi PNBP berada di angka Rp158,42 triliun dengan penerimaan SDA mencapai Rp65,01 triliun.
Dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) 2019, pertumbuhan ekonomi dipatok mencapai 5,3%.
Baca Juga
Berdasarkan outlook perekonomian Indonesia 2019 dari Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, pertumbuhan perekonomian dunia diperkirakan hanya sebesar 3,3%.
Lembaga internasional baik World Bank, IMF, dan OECD pun masing-masing telah memangkas proyeksi pertumbuhan dunia tahun 2019.
Hal ini diikuti dengan rendahnya permintaan global serta menurunnya harga komoditas ekspor sehingga PNBP sulit untuk diandalkan.
Seperti diketahui, dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memotong PPh badan menjadi 20% diperkirakan potential loss yang akan timbul mencapai Rp87 triliun.
"Jangan sampai PPh badan sudah turun tapi dampak ke ekonomi justru tidak maksimal karena yang menikmati hanya perusahaan besar," kata Bhima kepada Bisnis, Jumat (5/7/2019).