Bisnis.com, MALANG – PT Pembangkit Listrik Negara (Persero) (PLN) menargetkan penggunaan pelet untuk campuran batu bara di PLTU Jeranjang, Lombok, mencapai sebanyak 5% dari kebutuhan total batu bara. Apa tanggapan Kemenperin?
Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin Teddy Sianturi mengatakan pihaknya sedang berusaha unutk membuat bahan bakar dari sampah dengan melakukan dekomposisi termokimia melalui proses pemanasan dengan—tanpa atau sediki—oksigen atau reaksi kimia lainnya (Pirolisis).
Teddy berujar, pihaknya menargetkan akan ada 12 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang akan dibangun hingga 2025. “[Kemenperin] sangat mendukung [iisiasi PLN} karena program kami ada RDF [refused derive fuel] pada kiln di industri semen,” ucapnya kepada Bisnis, Kamis (4/7/2019).
Namun demikian, Teddy sependapat dengan pernyataan bahwa pengubahan sampah menjadi energi seharusnya hanya sampah yang bisa didaur ulang (BDU) atau tidak ada nilainya seperti kemasan plastik multi-layer, kantong plastik, dan residual plasticwaste.
Adapun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sedang mengembangkan penggunaan sampah plastik sebagai bahan campuran pembuatan jalan.
Seperti diberitakan Bisnis, Pelaksana Tugas Executive Vice President Corporate Communication & CSR PLN Dwi Suryo Abdullah mengatakan, perseroan menargetkan penggunaan pelet untuk campuran batu bara di PLTU Jeranjang mencapai 5%. Penggunaan pelet lebih murah dibandingkan batu bara. Sebagai gambaran, harga batu bara mencapai Rp700 per kg, sedangkan harga pelet hanya Rp300 per kg.
Pelet tersebut merupakan hasil pengolahan sampah di Klungkung, Bali. Kegiatan ini merupakan program unggulan Corporate Social Responsibility (CSR) PT Indonesia Power yakni Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS) yang memberdayakan masyarakat sekitar dengan mengolah sampah menjadi pellet untuk bahan bakar kompor memasak.
Pemanfaatan pelet kemudian juga digunakan sebagai campuran batubara low rank untuk energi primer pembangkit listrik. "Saat ini masih dalam tahapan uji coba."