Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian meminta agar industri pengolahan garam bisa meningkatkan serapan pada tahun ini.
Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Fridy Juwono menyebutkan peada pertengahan Juni lalu, industri telah menyerap 900.000 ton garam lokal dari target sebesar 1 juta ton sepanjang periode Juli 2018-Juni 2020. Diharapkan, target serapan garam untuk priode ini bisa tercapai maksimal.
“Kita juga sudah minta, kita [sudah] panggil pengolah garam itu. Kita minta juga komitmen sama seprti tahun lalu. Jumlah [serapan] minimal meningkat dari tahun lalu tapi meningkat berapa persen sesuai kemampuan dia juga, kemampuan pabrik dia mengolah,” ujarnya ketika dihubungi Bisnis, beberapa waktu lalu.
Terkait pemaksimalan penyerapan garam, pihaknya juga berharap agar Kementerian Kelautan dan Perikanan selaku pihak yang bertanggung jawab di sektor hulu produksi garam bisa memberikan angka pasti tekait jumlah dan lokasi garam kualitas unggul (KW I) yang bisa diserap industri pengolahan garam.
Menurutnya, hal ini perlu sebagai antisipasi jumlah garam yang bisa dipasok dalam negeri dan perkiraan kebutuhan yang mungkin dipenuhi melalui impor.
“Kalau industri ngambil kan skalanya besar. Jadi, harus ada kepastian tempat, jumlah, kualitasnya seperti apa. Itu yang diperlukan. Itu yang kita belum bisa dapat dari teman-teman di sana,” ujarnya.
Di samping itu, dia juga berharap agar produksi garam dalam negeri bisa terus membaik dari sisi volume dan kualitas agar tidak kalah jauh dengan garam impor. Dengan demikian, pemanfaatan garam dalam negeri bisa ditingkatkan dan ketergantungan akan impor bisa ditekan.
Pasalnya, menurut Fridy, perbaikan kualitas garam perlu dilakukan mulai dari hulu. Adapun peningkatan kualitas garam dengan pemanfaatan teknologi di tahap pengolahan menurutnya akan berdampak pada tingginya biaya yang dibutuhkan.
“Semua industri kan punya standar. Standar produk yang dihasilkan berkaitan dengan bahan baku. Ini yang harus berubah dari teman-teman di on farm. Jangan dipaksa industri [memaksimalkan] teknologi. Teknologi konsekuensinya mahal, dan itu belum tentu juga bisa,” ujarnya.
Seperti diketahui, pada akhir tahun lalu, pemerintah telah menyetujui alokasi impor garam sebesar 2,7 juta ton. Namun, pada pertegahan Juni, diketahui para pengguna kembali meminta tambahan sebesar 300.000 ton-400.000 ton.
Menurut Fridy, adanya permintaan tambahan alokasi impor ini lantaran perhitungan awal sebesar 2,7 juta ton belum memperhitungkan potensi pertumbuhan industri pangan olahan yang mencapai lebih dari 10%.
“Kemarin waktu kita hitung bersama teman-teman di Kemenko [Perekonomian], kita anggap tidak ada growth dulu karena kita meredam supaya bisa terserap dari dalam tapi kan kualitasnya yang diminta oleh industri kan memang harus garam yangs angat kering, itu enggak bisa dari garam local,”ujarnya.
Kebutuhan tambahan impor untuk industri mamin tersebut, menurut Fridy salah satunya adalah untuk min instan dan bumbu instan atau seasoning. Selain itu, kebutuhan tambahan impor tersebut juga datang dari industri CAP (chlor alkali plant).