Saya mencoba mengingat, sekira sewinduan lalu, media cetak mulai menjalankan strategi banting harga. Ada koran yang baru terbit di Bandung (dengan pasar Jawa Barat) dijual eceran seribu perak. Lisensi koran itu adalah terbitan dari penerbit besar berskala nasional.
Di daerah lain, penerbit tersebut juga menjalankan strategi yang sama, banting harga. Di banyak daerah lain pun serupa, meski penerbitnya tak sama.
Bukan hanya harga jual koran yang dipakai untuk "bantingan". Dalam kurun waktu itu, sejumlah penerbit ramai-ramai memulai apa yang disebut banting harga iklan.
Bahkan dalam perjalanannya kemudian, ada koran yang jual iklan nyaris "tak berharga", yang penting mendapatkan iklan untuk halamannya.
Lalu ramai-ramailah strategi banting harga itu dipakai hampir oleh semua penerbit. Tak sedikit dan tak jarang, harga iklan dibanting hingga tinggal 20%, alias diberikan diskon hingga 80% dari tarif rate card yang dipajang di informasi harga jasanya.
Dan ternyata tidak hanya penerbit media cetak. Bahkan di industri televisi komersial pun, banting harga juga terjadi. Merajalela.
Seorang pemimpin puncak televisi ternama pernah bercerita kepada saya, iklan di televisinya memang sepintas masih banyak, tapi tarifnya turun karena perang harga. Belakangan, para pelaku industri media mulai merasakan dampaknya. Sebagian kesulitan, bahkan banyak yang tutup dan gulung tikar.
Gambaran besarnya, persaingan yang makin ketat diikuti perang harga membuat industri media menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Belum lagi akibat dari pergeseran pembaca dan pengiklan ke media baru, termasuk media digital dan media sosial. Akibat dari perang tarif dan strategi banting harga, profil pasar iklan di media pelan tapi pasti telah bergeser. Pasar iklan media kini menjadi pasar yang dikendalikan oleh pengiklan atau agensinya, alias advertiser-driven market, ketimbang publisher-driven market.
Kini tinggal media tertentu saja yang percaya diri untuk tidak menjalankan strategi banting harga. Untuk keluar dari jebakan perang tarif dan banting harga itu pun tidak mudah.
Industri media pada akhirnya kesulitan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kenaikan biaya produksi, termasuk harga kertas, biaya teknologi dan biaya sumberdaya manusia. Kesulitan menghantui pelaku industri itu sendiri.
Untuk menaikkan harga jual, baik sirkulasi atau langganan maupun harga iklan, menjadi momok yang menakutkan.
Padahal, biaya produksi jelas-jelas terus meningkat. Maka, perang harga menjadi bumerang yang mematikan. Meski pelan-pelan.
Apalagi dalam kurun waktu bersamaan, industri media juga sekaligus menghadapi realita pergeseran perilaku pembaca dan pengiklan akibat perubahan teknologi.
***
Saya ceritakan perang tarif di industri media tentu punya tujuan. Namun tujuannya lain. Belakangan, kisah perang tarif dan banting harga di masa lalu seolah jadi déjà vu untuk industri penerbangan. Resolusi industri penerbangan sejak tahun lalu, dengan menaikkan harga tiket pesawat, juga melemparkan bumerang yang tak terduga.
Sejak awal tahun ini, banyak pihak angkat bicara soal harga tiket pesawat udara. Nada suaranya riuh-rendah, gaduh, dan hingar-bingar begitu rupa. Ini karena harga tiket pesawat, dengan tarif baru, dianggap terlalu mahal.
Bahkan, kendati pemerintah sudah mengintervensi dengan mendorong langkah penurunan kembali tarif tiket pesawat yang dinaikkan, tetap saja kemahalan.
Penumpang pesawat cenderung menurun, bahkan beberapa maskapai mengurangi frekuensi terbang dan rute terbang.
Lalu daerah tujuan wisata populer juga mengeluhkan berkurangnya pengunjung karena harga tiket pesawat yang mahal. Era tarif supermurah untuk pesawat terbang seakan sudah berakhir.
Bahkan penumpang yang terbiasa menikmati harga tiket pesawat murmer alias murah meriah kini terpaksa pintar-pintar cari jalur baru meski terpaksa rutenya harus belok dulu ke luar negeri. Cerita penumpang dari Aceh ke Surabaya yang terpaksa belok dulu ke Malaysia adalah salah satu contohnya.
Lalu kita mulai membandingkan, ongkos bepergian naik pesawat dari Jakarta ke Manado atau Makassar lebih mahal dibandingkan dengan ongkos tiket pesawat dari Jakarta ke Malaysia.
Maka, outbound trip kian marak dibandingkan perjalanan inbound. Secara ekonomi, jadinya Indonesia rugi.
Banyak wisatawan domestik yang lebih suka ke luar negeri, ketimbang jalan-jalan ke tujuan wisata di dalam negeri karena harga tiket yang mahal.
Saya sengaja tidak mengajukan data atau angka-angka rinci di kolom ini. Biar tidak makin menambah kerut di kening.
Meminjam diksi yang dipakai dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, saya sampaikan data kualitatif ketimbang kuantitatif.
Toh, ini bukan untuk membuktikan dalil-dalil dalam petitum sidang peradilan.
***
Saya melihat ada kemiripan proses dan pergerakan harga yang membentuk pasar industri media dengan industri penerbangan di Indonesia belakangan ini. Kalau Anda mau protes dengan cara pandang ini, silahkan saja. Tapi poin yang ingin saya ceritakan sebetulnya mulai dari sini.
Harga tiket pesawat supermurah yang dinikmati selama bertahun-tahun oleh konsumen di Indonesia sebenarnya terjadi sejak booming Low Cost Carrier di masa lalu, yang praktiknya dianggap "mengabaikan" banyak aspek keselamatan penerbangan.
Banyak kasus yang kemudian ditengarai sebagai akibat dari tarif murah tersebut, sehingga sebagian maskapai penerbangan mengabaikan aspek-aspek keselamatan termasuk dalam maintenance dan operasi pesawat.
Maka, ketika penyesuaian harga tiket pesawat terjadi belakangan secara signifikan, wacana publik bahwa harga tiket pesawat kemahalan menjadi diksi sehari-hari. Bisa iya, bisa juga tidak.
Saya ingin melihatnya dari sisi yang lain: jangan-jangan harga tiket pesawat sebelumnya –terutama low cost carrier—memang terlalu murah, akibat banting harga dan perang harga demi menjangkau pasar sebesar-besarnya.
Memang sudah ada regulasi harga batas bawah dan tarif batas atas. Namun bisa jadi regulasi harga batas bawah sebelumnya terlalu rendah.
Pemerintah selaku regulator juga sudah beberapa kali menaikkan tarif batas bawah selalu regulator, tetapi bisa jadi tarif batas bawah kala itu masih terlalu rendah. Akibatnya, seperti "subsidi" yang memabukkan, harga tiket yang murah seolah menjadi keniscayaan. Atau ‘keharusan’.
Mungkin, kita bisa pakai analogi lainnya, yakni subsidi bahan bakar minyak. Kita pernah mengalami harga BBM supermurah dalam kurun waktu yang lama sekali. Lantaran pemerintah menggelontorkan subsidi BBM setiap tahun dalam jumlah triliunan rupiah.
Tatkala subsidi BBM dicabut, dan disisakan "sedikit" subsidi untuk BBM tertentu saja, masyarakat juga terkaget-kaget seketika karena harganya menjadi relatif mahal. Dalam konteks itulah, harga tiket pesawat yang kini relatif lebih mahal dibandingkan tahun-tahun sebelumnya bisa pula dilihat dari perspektif semacam itu.
Bisa jadi operator penerbangan murah selama ini terlalu banyak "mensubsidi" penumpang dengan mengorbankan layanan dan bahkan "keselamatan".
Maka, tatkala tuntutan akan "layanan dan keselamatan" wajib ditingkatkan, "subsidi" tersebut pelan-pelan kudu dicabut. Maka, beramai-ramailah operator menaikkan harga tiket pesawat. Maka konsumen “marah’ dan “pergi”. Maka, dituduhlah mereka itu melakukan kartel harga.
***
Namun, saya kok menduga, harga tiket pesawat yang dianggap kemahalan belakangan ini akan menemukan celah menuju keseimbangannya sendiri.
Bisa jadi, keadaan sekarang ini adalah proses menuju pasar industri penerbangan nasional yang lebih seimbang, atau “new normal”.
Apakah pemerintah perlu terus menerus turun tangan? Bisa iya, bisa pula tidak.
Namun, demi kepentingan yang lebih luas, pemerintah rasanya tetap perlu turun tangan. Misalnya memfasilitasi agar destinasi tertentu, khususnya daerah wisata, dan perekonomian di kawasan Indonesia Timur, perlu regulasi tarif pesawat “bersubsidi”.
Entah bagaimana caranya, mungkin bisa dengan melibatkan penugasan BUMN seperti halnya pembangunan infrastruktur secara besar-besaran yang belakangan bisa cepat terealisasi.
Bayangan saya, kalau “BBM satu harga” saja bisa, mengapa “tarif bersubsidi” untuk wilayah tertentu, kawasan pariwisata atau 10 destinasi wisata unggulan, dan “remote area” tidak coba dipertimbangkan?
Atau mekanisme lain yang memungkinkan normalisasi tarif tiket pesawat menuju keseimbangan baru, tanpa harus melukai lebih banyak wilayah pertumbuhan ekonomi baru dan kawasan wisata yang mulai tumbuh.
Banyak kawasan baru, yang mulai bergeliat dengan pemerataan pembangunan akhir-akhir ini, yang semestinya terus didorong untuk makin tumbuh.
Kita seyogianya sepakat, negara kepulauan seperti Indonesia patut ditopang oleh selengkap mungkin moda transportasi yang menghubungkan berbagai titik aktivitas ekonomi secara lebih aksesibel, cepat dan efisien.
Dengan itu, “Indonesia Centris” akan menjadi mantra yang lebih kuat, bukan sekadar “Java Centris” seperti selalu dikemukakan Presiden Jokowi.
Itulah cara saya melihat debat publik mengenai harga tiket pesawat ini, bukan semata dari ruang kemudi lokomotif (locomotive view), tetapi lebih dari kokpit helikopter, alias helicopter view.
Nah, bagaimana menurut Anda? (*)