Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penurunan Impor Bahan Baku Lantaran Tekanan Kondisi Global

Penurunan impor bahan baku/penolong selama Januari hingga Mei tahun ini diyakini bukan karena faktor domestik, melainkan kondisi global yang menghadapi ketidakpastian karena dibarengi dengan ekspor industri pengolahan yang terkontraksi.
Ilustrasi industri berbahan baku benang./Bloomberg-David Paul Morris
Ilustrasi industri berbahan baku benang./Bloomberg-David Paul Morris

Bisnis.com, JAKARTA—Penurunan impor bahan baku/penolong selama Januari hingga Mei tahun ini diyakini bukan karena faktor domestik, melainkan kondisi global yang menghadapi ketidakpastian karena dibarengi dengan ekspor industri pengolahan yang terkontraksi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Senin (24/6/2019), ekspor manufaktur sepanjang 5 bulan tercatat senilai US$51,06 miliar atau turun 6,27% secara tahunan. Sementara itu, impor bahan baku/penolong senilai US$52,78 miliar, lebih rendah 9,39% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Mohammad Faisal, Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, mengatakan penurunan bahan baku/penolong terjadi karena perlambatan global yang mendorong permintaan ekspor terkontraksi.

Di sisi lain, permintaan domestik dinilai masih baik, salah satunya terlihat dari purchasing managers’ index (PMI) pada Mei 2019 berada di angka 51,6 atau naik dibanding bulan sebelumnya yang ada di posisi 50,4. Poin PMI di atas angka 50 menandakan bahwa sektor manufaktur tengah ekspansif.

“Saya tidak melihat penurunan impor bahan baku/penolong ini disebabkan oleh pelemahan daya beli domestik, tetapi karena faktor global. PMI sampai Mei masih bagus, begitu juga dengan sektor ritel,” ujarnya Senin (24/6/2019).

Peran golongan bahan baku/penolong terhadap impor tercatat paling besar dibandingkan dengan jenis barang lainnya, sebesar 74,76%, sedangkan barang modal berperan 16,20% dan barang konsumsi sebesar 9,04%.

Dari sisi ekspor, sektor industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar dengan porsi sebesar 74,59% terhadap keseluruhan ekspor. Sektor pertambangan berperan sebesar 15,63%, sektor migas sebesar 7,80%, dan sektor pertanian sebesar 1,98%.

Faisal memproyeksi perlambatan global akan berlanjut hingga tahun depan, sesuai dengan proyeksi bank dan lembaga dunia. Ketidakpastian global dipengaruhi sejauh mana kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ke depannya serta respon negara lain terhadap negara Paman Sam berserta mitranya secara keseluruhan.

Dia menyebutkan, negara lain seperti India pun ikut menaikkan tarif bagi produk negara lain, seperti minyak kelapa sawit dari Indonesia. “Kalau berharap ekspor tumbuh tinggi, kemungkinan kecil. Yang bisa dilakukan saat ini adalah mempertahankan pertumbuhan supaya tidak drop, stabil dalam artian pangsa pasar tidak turun di negara tujuan ekspor.”

Untuk mempertahankan pangsa pasar tersebut, produk industri pengolahan nasional perlu meningkatkan daya saing agar kompetitif dengan produk negara lain.

Lebih jauh, terkait pertumbuhan industri manufaktur pada kuartal II tahun ini, Faisal meyakini bakal lebih baik dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Laju pertumbuhan lapangan usaha industri pengolahan sepanjang periode Januari--Maret 2019 tercatat sebesar 4,80% y-o-y. Pertumbuhan ini melambat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,08%, sementara pada kuartal II/2018 tumbuh sebesar 4,27%.

“Ada kemungkinan naik, terlihat dari performa PMI menjelang puasa dan Lebaran cenderung naik. Beberapa jenis industri ada peningkatan order di dalam negeri dan ada juga yang permintaan ekspor mengalami kenaikan seperti besi baja dan otomotif,” katanya.

Kementerian Perindustrian juga meyakini pertumbuhan sektor pengolahan pada kuartal II akan membaik dibandingkan kuartal sebelumnya. Haris Munandar, Sekretaris Jenderal Kemenperin, mengatakan pihaknya memprediksi seusai pemilihan umum 17 April 2019 lalu iklim usaha semakin membaik. Selain itu, konsumsi juga meningkat dengan adanya tunjangan hari raya (THR).

"Bisa lebih baik lah dari kuartal lalu, mendekati 5%," ujar Haris.

Menurutnya, iklim usaha pasca pemilihan presiden dan anggota legislatif semakin membaik setelah sebelumnya para investor memilih wait and see. Dia juga menyatakan menjelang Lebaran banyak masyarakat yang membelanjakan uangnya untuk produk tekstil dan makanan serta minuman.

Peredaran uang ke daerah pun semakin kencang karena banyak masyarakat yang mudik atau pulang kampung. "Liburnya panjang, sehingga orang bisa spend lebih besar," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper