Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai konflik perang Iran dengan Israel dan keterlibatan Amerika Serikat (AS) akan berdampak ke kinerja industri secara global, termasuk Indonesia, meskipun saat ini efeknya masih terbatas.
Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal mengatakan, rantai pasok barang-barang selain energi dari kawasan Teluk Persia, termasuk Selat Hormuz, tergolong tak signifikan. Sebab, jalur perdagangan global yang paling besar saat ini bukan melalui kawasan tersebut, melainkan Laut Merah dan Terusan Suez.
“Untuk bahan baku secara umum, mungkin tidak terlalu banyak untuk saat sekarang dampaknya,” kata Faisal kepada Bisnis, Senin (23/6/2025).
Menurut dia, selama jalur utama perdagangan tersebut tidak terganggu untuk memasok barang-barang selain energi, maka kondisi usaha masih bisa berjalan normal.
Namun, dia menekankan pentingnya kewaspadaan jika konflik meluas ke wilayah lain seperti Mesir atau Terusan Suez. Apabila kondisi tersebut terjadi, maka rantai pasok global secara lebih luas bisa terganggu.
“Kecuali kalau juga merambah diperlukan lebih luas lagi sampai ke Mesir misalnya, sampai ke Terusan Suez dan lain-lain, yang ini bisa memengaruhi rantai pasok secara lebih jauh,” jelasnya.
Baca Juga
Konflik perang antara Iran dan Israel yang berpotensi meluas juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku ekspor-impor. Apalagi, sebelumnya industri masih cemas dengan adanya dinamika kebijakan sebelumnya seperti tarif perdagangan era Presiden Trump.
“Dengan kebijakan tarif Trump saja selama ini sudah mengganggu dari sisi rantai pasok karena terjadi hambatan congestion di pelabuhan-pelabuhan besar,” ujarnya.
Dia tak memungkiri konflik tersebut akan berakibat pada lonjakan biaya logistik, bahkan bisa mencapai dua kali lipat dari kondisi normal.
Meskipun untuk saat ini belum ada dampak signifikan terhadap logistik akibat perang, perubahan rute pelayaran bisa saja terjadi, terutama untuk menghindari wilayah konflik.
“Tidak menutup kemungkinan juga ada perubahan rute yang mungkin selama ini mendekati Timur Tengah, terutama Teluk Persia, mungkin itu dihindari,” terangnya.
Dia menegaskan bahwa secara umum, jalur perdagangan seperti Selat Malaka dan perairan Asia Timur saat ini belum terganggu sehingga rantai pasok global masih berjalan relatif normal.
Namun demikian, risiko terhadap perubahan biaya logistik di masa depan tetap ada.
“Untuk saat sekarang masih relatif terbatas, tapi memang perlu diantisipasi ke depan,” tuturnya.
Dengan situasi yang terus berkembang, para pelaku usaha dan pembuat kebijakan disarankan untuk waspada terhadap potensi lonjakan biaya energi dan logistik.
Pengalihan jalur pelayaran serta meningkatnya ketidakpastian global menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam menjaga stabilitas ekonomi dan rantai pasok internasional.
Ketegangan geopolitik yang memanas di kawasan Timur Tengah, terutama di sekitar Teluk Persia, dinilai berpotensi mengganggu kelancaran rantai pasok global, khususnya dalam sektor energi.
Wilayah ini dikenal sebagai jalur penting perdagangan minyak dunia sehingga konflik yang terjadi di sana menimbulkan kekhawatiran serius bagi para pelaku ekonomi global.
“Kalaupun ada gangguan dalam hal kelancaran rantai pasok global, ini lebih yang terkait dengan minyak sebetulnya. Karena konfliknya melibatkan wilayah Timur Tengah, khususnya adalah di sekitar Teluk Persia,” jelasnya
Terlebih, menekankan bahwa Teluk Persia, termasuk Selat Hormuz, merupakan jalur vital dalam distribusi minyak bumi dunia.
Dampak dari ketegangan tersebut sudah mulai terasa dengan naiknya harga minyak di pasar global.
“Kondisi perang tentu saja akan mempengaruhi suplai transportasi dari perdagangan minyak. Yang mana ini akan berpengaruh terhadap peningkatan harga minyak,” ujarnya.
Harga minyak, menurutnya, telah naik dari level US$60 per barel menjadi sekitar US$75 per barel dan masih berpotensi terus meningkat hingga US$80 per barel apabila situasi tak kunjung mereda.
Kenaikan harga minyak ini otomatis meningkatkan biaya energi secara keseluruhan. Meskipun komoditas substitusi seperti gas juga terdampak, skalanya tidak sebesar minyak bumi.
“Bagaimana dengan komoditas substitusinya seperti gas dan lain-lain ini juga berpotensi untuk naik, walaupun kenaikannya tidak sebesar minyak buminya,” pungkasnya.