Bisnis.com, JAKARTA—Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengasumsikan produksi siap jual (lifting) migas nasional sebesar 1,893 juta barrel oil equivalent per day (BOEPD) atau menurun dibandingkan target APBN 2019 sebesar 2,025 juta BOEPD atau turun sekitar 6,5 persen.
Atas asumsi lifting migas tersebut, terbagi atas lifting minyak sebesar 734.000 barrel oil per day (BOPD) dan gas sebesar 1,159 juta BOEPD. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan melihat kondisi ladang-ladang migas menurun produksinya.
Menurutnya, dengan perkiraan produksi hingga akhir tahun (year to date) per Mei 2019, sebesar 754.000 BOPD maka terlihat produksinya menurun sekitar 3% dibandingkan dengan kinerja 2018 sebesar 778.000 BOPD.
"Sedangkan gas forecast 1,159 juta BOEPD meningkat 8 persen dibandingkan dengan outlook 2019 yang sebesar 1,072 juta BOEPD. Tapi pada 2019 memang lebih rendah dibandingkan dengan produksi gas bumi 2018 1,149 juta BOEPD," katanya, akhir pekan lalu,
Dia berharap, kinerja dapat kembali tumbuh pada 2020 dengan mengandalkan proyek migas baru yang beroperasi ataupun adanya pengeboran. Dari 10 besar Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), Dwi menjelaskan bahwa Exxonmobil Cepu Ltd pada tahun depan diperkirakan berproduksi sebesar 216.000 BOPD, atau turun dari outlook tahun ini sebesar 221.000 BOPD.
Asumsi tersebut melihat adanya potensi kandungan air lebih tinggi, sehingga SKK Migas mencatatkan target konservatif.
Untuk kinerja PT Chevron Pacific Indonesia yang mengelola Blok Rokan juga diperkirakan akan menghasilkan minyak lebih kecil daripada kinerja 2019. "Untuk Blok Rokan memang trennya dalam posisi decline secara cukup besar sejak 2017 - 2019 termasuk 2020. Karena blok ini juga masa transisi, perlu ada antisipasi terkait risiko yg terjadi di masa tersebut," tambahnya.
Lifting migas diharapkan mengalami kenaikan dari kinerja Pertamina EP dari beberapa produk yang sudah berjalan baik.
Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Dharmawan Samsu mengatakan Pertamina EP fokus melakukan eksplorasi di banyak wilayah kerja, untuk mendorong produksi. Dia mengakui, banyak lapangan tua yang dikelola Pertamina EP, tetapi hal itu tidak menjadi halangan ketika perseroan konsisten melakukan investasi.
"Walaupun Pertamina EP sudah beroperasi hampir 70 tahun. Saya menyebutnya die hard, gak ada matinya. Kenapa? karena dilawan terus dengan investasi," katanya.
Menurutnya, dengan terus melakukan investasi, Pertamina EP berupaya menjaga kesehatan reservoar ditambah dengan terus melakukan eksplorasi di dalam wilayah kerjanya. Sayangnya, kinerja positif tidak dapat diikuti oleh anak usaha PT Pertamina (Persero) lainnya, yakni Pertamina Hulu Mahakam.
Dwi Soetjipto mengatakan produksi migas dari Blok Mahakam cenderung menurun. SKK Migas berharap jumlah sumur yang sudah dibor dapat lebih berkontribusi, tetapi sayangnya belum memberikan dampak signifikan.
Untuk lifting gas bumi, Dwi mengatakan BP Berau ada kecenderungan akan meningkatan kinerja setelah selesainya Tangguh Train-3 dengan catatan tidak banyak keterlambatan dalam pengerjaan proyek.
"Conocophillips [Blok Corridor] kami harapkan akan mulai recover untuk naik kembali. Sementara itu, Eni Muara Bakau memang turun, kami akan cek di Merakes, mudah-mudahan akan berikan dampak pada 2020-2021," tegasnya.