Bisnis.com, JAKARTA – Akademisi kehutanan menyarankan agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak bekerja sendiri dalam melakukan penetapan Hutan Adat.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo menilai UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sangat syarat penghargaan terhadap hukum adat, tetapi UU 41/1999 tentang Kehutanan cenderung mereduksinya.
“[Sehingga] perlu keterlibatan pihak yang punya kompetensi untuk mengenali ciri-ciri masyarakat hukum adat dalam proses penetapan batas wilayahnya,” kata Sudarsono seperti dikutip dalam keterangan resminya, Jumat (21/6/2019).
Sudarsono menilai peran pemerintah daerah sangat sentral dalam penetapan Hutan Adat karena masyarakat hukum adat perlu peraturan daerah yang memuat batas wilayah. Oleh karena itu, perlu bantuan pakar antropologi dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam proses penetapannya.
“Bantuan pakar antropologi dalam proses penentuan batas wilayah masyarakat hukum adat juga diperlukan. Selain itu, peran Kementerian ATR/BPN dalam menata ruang dan meregistrasi penguasaan lahan menjadi sangat penting,” lanjutnya.
Dia menambahkan dalam penetapan wilayah, wewenang KLHK hanya terbatas pada pelepasan wilayah hukum adat yang berada di dalam areal yang diklaim sebagai kawasan hutan. Bahkan, dalam Keputusan MK No 35-PUU-2012, disebutkan hutan adat merupakan bagian dari hutan hak dan bukan merupakan hutan negara.
“Karena itu peran ATR/BPN sangat menentukan,” katanya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa menilai bahwa adanya kebijakan terkait hutan adat menjamin kepastian bagi masyarakat adat dan berpotensi memperkecil persoalan tenurial.
Namun, menurutmya pada pemanfaatan di lapangan, hutan adat harus tetap megikuti fungsi hutan yang telah ditetapkan.
Misalnya, ketika pemerintah menetapkan kawasan taman nasional sebagai hutan adat, masyarakat adat harus tetap melakukan fungsi konservasi dan menjaga kawasan tersebut.
“Sebaliknya, jika hutan adat berada di fungsi hutan produksi, hormati keinginan masyarakat untuk menanam apapun termasuk sawit,” kata Yanto Santosa.
Yanto juga menilai perlu adanya peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat sebelum tahap penetapan kawasan diperlukan untuk menjamin usulan-usulan di daerah yang telah memiliki subjek dan objek masyarakat hukum adat.
“Ini agar potensi konflik antara masyarakat adat dan kelompok pendatang yang mengatasnamakan masyarakat bisa dipilah,” tandasnya.
KLHK sendiri telah menerbitkan Peta Indikatif Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I untuk mendorong percepatan administratif penetapan skema Hutan Adat di tingkat daerah.
Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Adat Fase I tertuang pada SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 312/2019 dengan luasan sekitar 453.831 hektare.
Luasan tersebut terdiri atas Kawasan Hutan Negara seluas 384.896 hektare, Areal Penggunaan Lain seluas 68.935 hektare dan Hutan Adat seluas 19.150 hektare.
Luasan peta ini juga tersebar di 5 region, yakni Sumatra (64.851 hektare); Jawa Bali Nusa Tenggara (14.818 hektare); Kalimantan (54.978 hektare); Sulawesi (261.323 hektare), serta; Maluku dan Papua (77.009 hektare).