Bisnis.com, JAKARTA - Pembenahan tahap fermentasi kakao dinilai sebagai hal mutlak jika Indonesia ingin mewujudkan perluasan ekspor produk kakao ke Uni Eropa.
Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo) Soetanto Abdullah mengatakan saat ini belum banyak petani Indonesia yang melakukan fermentasi kakao. Padahal tahapan tersebut sangat penting untuk menghasilkan produk turunan biji kakao yakni cacao powder.
"Pasar Uni Eropa bagus, tapi petani Indonesia harus mulai mau melakukan fermentasi. Kalau ingin ke Eropa harus biji kakao yang fermentasi," kata Soetanto dalam pesan tertulis kepada Bisnis, Rabu (12/5/2019).
Soetanto menjelaskan bahwa proses fermentasi merupakan tahapan yang penting. Pasalnya, tanpa tahapan ini cacao powder tidak bisa menjadi bahan pembuat makanan dan minuman cokelat.
Berdasarkan paparan Atase Perdagangan Indonesia untuk Belgia Merry Astrid Indriasari, produk turunan kakao yang mendominasi pasar Uni Eropa merupakan cacao butter dengan volume ekspor mencapai 24.600 ton pada 2018.
Sementara untuk ekspor ke Uni Eropa, nilai ekspor kakao Indonesia pada 2018 mencapai US$215,2 juta, naik 22 persen dibanding nilai ekspor 2017 yang berada di angka US$201,7 juta. Kendati demikian, besaran ini baru mencakup 1 persen dari total nilai impor Uni Eropa untuk produk kakao dan turunannya yang mencapai nilai US$27.4 miliar.
"Nilai cacao powder cukup signifikan, tapi kalau dari biji kakao hanya diambil butter-nya saja rugi. Harus dua-duanya, butter dan powder. Sedangkan cacao powder yang baik dihasilkan dari bahan baku biji fermentasi. Dengan demikian untuk memanfaatkan potensi pasar [Uni Eropa], pembenahan tahap fermentasi mutlak diperlukan," papar Soetanto.
Indonesia berkomitmen untuk memperluas pasar Ekspor ke Uni Eropa selaku kawasan dengan konsumsi cokelat terbesar di dunia. Sejauh ini, sebagian besar impor cokelat Uni Eropa berasal dari Pantai Gading dengan nilai mencapai US$4 miliar. Posisi tersebut disusul oleh Ghana dengan nilai US$1,5 miliar dan Nigeria sebesar US$672 juta.
Adapun salah satu kunci untuk menjamin akses pasar bagi komoditas perkebunan Indonesia ke Eropa, menurut Astrid adalah dengan mewujudkan liberalisasi tarif. Langkah ini dipercaya dapat mendorong laju ekspor kakao dan produk turunannya ke pasar UE. Hingga saat ini, Indonesia telah mengusulkan initial offer untuk lebih dari 10 ribu pos tarif, termasuk di dalamnya kakao dan produk turunannya.
“Kita berharap hal ini bisa mempercepat proses negosiasi untuk mengejar ketertinggalan dengan negara Asean lain yang sudah memiliki FTA dengan UE,” ujar Astrid.