Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Biaya Produksi Tinggi, Pangsa Pasar Udang RI Kecil

Mahalnya biaya produksi udang dalam negeri dinilai menjadi salah satu penyebab masih kecilnya pangsa pasar udang Indonesia di pasar global.
Panen udang di pertambakan PT Central Pertiwi Bahari di Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang Lampung. / Bisnis-rustam agus
Panen udang di pertambakan PT Central Pertiwi Bahari di Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang Lampung. / Bisnis-rustam agus

Bisnis.com, JAKARTA- Mahalnya biaya produksi udang dalam negeri dinilai menjadi salah satu penyebab masih kecilnya pangsa pasar udang Indonesia di pasar global.

 Seperti diketahui, pangsa pasar Indonesia baru mencapai sekitar 7% dari total impor udang global 2018 sebesar 2,570 juta ton.

 “Kalau harga hari ini, dengan tingkat kompetisi hari ini, mereka [petambak] juga kan harus berbudidaya dengancost yang kompetitif,” ujar Hendri Laiman, Direktur Feed Business PT Central Proteina Prima, Tbk, Kamis (2/5/2019).

 Adapun sejumlah komponen yang menyebabkan tingginya biaya produksi udang dalam negeri antara lain pakan dan infrastruktur.

 Hendri menjelaskan, tingginya harga pakan udang disebabkan sebagian besar bahan bakunya masih bersumber dari impor. Oleh karena itu, bahan baku ini sangat terpengaruh dengan fluktuasi dolar di samping  peningkatan harga yang memang sempat terjadi di negara asal bahan baku.

 Dari sisi infrastruktur ada sejumlah hal yang menurutnya perlu dibenahi seperti ketersediaan listrik dan jalan yang baik.

 Hal yang sama juga diutarakan oleh Arman Diah, Direktur Central Pertiwi Bahari. Menurutnya, kurang baiknya infrastruktur jalan di sejumlah lokasi sentra budi daya udang menyebabkan tingginya biaya handling.

Pasalnya, dengan keadaan tersebut, pakan, benur dan hasil panen udang memerlukan pemindahan dari satu moda transportasi yang moda transportasi lainnya.

 “Dari truk gede ke truk kecil atau dari truk gede ke mobil, mobil ke motor. Itu kan jadi double- triple handling. Itu kan biaya semua,” jelasnya.

Di samping itu, terbatasnya jaringan listrik di sejumlah daerah menyebabkan biaya yang dikeluarkan para petambak juga menjadi tinggi. Pasalnya, para petambak terpaksa harus bergantug pada kincir air yang memanfaatkan solar sebagai bahan bakar.

 “Kalau dia pakai solar subsidipun, tetap aja jatuhnya per kwh mahal.Rangenya kalau di petani antara Rp2.900 ke Rp3.000 kadang-kadang per kwh. Kalau pakai PLN bisa Rp1.500-Rp1.600 per kwh,” paparnya.

 Padahal, di luar bahan bakar tersebut, para petambak juga harus berinvestasi untuk pengadaan genset yang nilainya tidak sedikit.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper