Bisnis.com, JAKARTA – Perdebatan antarkandidat capres-cawapres diharap tidak hanya berkutat pada isu-isu populis, namun juga menyasar substansi masalah perekonomian Indonesia.
Debat pamungkas akan digelar pada Sabtu (13/4/2019). Ada persoalan-persoalan ekonomi yang harus diperhatikan dan menjadi bahan perdebatan para calon presiden dan wakil presiden itu.
Direktur Eksekutif Center of Reform in Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, salah satu masalah yang harus dijawab para kandidat pilpres adalah tertahannya pertumbuhan ekonomi nasional di kisaran 5 persen. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi harusnya lebih dari 5 persen jika Indonesia ingin keluar dari kategori negara berpenghasilan menengah.
Indonesia telah masuk dalam kategori negara berpenghasilan menengah sejak 1996. Hingga kini, Indonesi masih masuk di kategori tersebut. Pemerintah menargetkan pada 2038 Indonesia sudah masuk kategori negara berpenghasilan tinggi.
Akan tetapi, Faisal ragu target itu bisa tercapai jika pertumbuhan ekonomi hanya berkutat di angka 5 persen. Menurut kalkulasinya, ekonomi Indonesia harus tumbuh minimal 7 persen setiap tahun agar bisa keluar dari kelompok negara berpenghasilan menengah.
“Kalau hanya tumbuh 5 persen terus kita akan masuk ke jebakan kelas menengah. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi harus diupayakan sesegera mungkin saat masih menikmati bonus demografi,” ujar Faisal dalam diskusi bertajuk Review Ekonomi Triwulan I dan Jelang Debat Capre Kelima di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (9/4/2019).
Baca Juga
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah diharap bisa melakukan revitalisasi industri manufaktur. Pengembangan industri manufaktur menjadi kunci menggenjot pertumbuhan ekonomi lantaran sektor itu menciptakan banyak lapangan kerja formal, dan bisa dijangkau pekerja dari kalangan ekonomi menengah ke bawah sehingga mengurangi jumlah pengangguran.
CORE mencatat, sejumlah negara yang pertumbuhan ekonominya pesat umumnya memiliki tingkat pertumbuhan industri manufaktur yang tinggi juga. Bahkan, tingkat pertumbuhan industri manufaktur beberapa negara lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada Korea Selatan misalnya, tingkat pertumbuhan industri manufaktur mereka mencapai 4,35 persen atau lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi sebesar 3,06 persen pada 2017. Hal sama juga terjadi di Vietnam, dimana tingkat pertumbuhan industri manufaktur mereka mencapai 14,4 persen atau lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen pada 2017.
Pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia tercatat selalu lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi sejak 2004. Pertumbuhan industri manufaktur yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi terakhir terjadi pada 2003.
“Sektor manufaktur harus jadi prioritas utama. Ini harus jadi agenda ke depan, apalagi outlook ke depan harga ekspor komoditas kita akan melambat dan cenderung turun semua,” ujarnya.
Para kandidat juga didorong membahas persoalan revitalisasi industri dalam cakupan umum untuk mendongkrak kinerja ekspor Indonesia di masa depan, agar tak terlalu tergantung pada komoditas primer. Selain itu, mereka diharap memiliki rancangan kebijakan yang tepat untuk mendorong industri manufaktur bernilai tinggi di dalam negeri.
Selain itu, para kandidat di Pilpres 2019 juga perlu memperhatikan pertumbuhan ekonomi digital dan pengaruhnya terhadap industri di dalam negeri. Menurut Faisal, selama ini pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia tak diimbangi dengan tumbuhnya lini produksi.
Akibatnya, marketplace yang terbentuk hanya berguna untuk memasarkan barang-barang produksi luar negeri. Indonesia pun kembali menjadi pasar karena hanya bermain di sektor distribusi dan konsumsi.
“Padahal kita punya pelaku [produsen] yang jauh lebih besar di dalam negeri. Kita punya pelaku UMKM, pasarnya, dengan ekonomi digital semestinya bisa dipertemukan antara produsen dengan konsumen,” ujarnya.
Diskusi bertajuk Review Ekonomi Triwulan I dan Jelang Debat Capre Kelima di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (9/4/2019).
Ketimpangan Antarwilayah
CORE juga menyebut, capres dan cawapres harus memiliki rencana agar bisa mengatasi ketimpangan ekonomi antarwilayah. Berdasarkan catatan lembaga itu, hingga 2018 distribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di Pullau Jawa masih mendominasi dibanding pulau-pulau lain di Indonesia.
PDRB di Pulau Jawa mencakup 59 persen PDB Nasional. Angka itu tak berbeda jauh dengan distribusi PDRB pada 1998. Menurut Faisal, bertahannya ketimpangan ekonomi antarpulau ini harusnya menjadi masalah yang diperhatikan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Masalah lain yang harus dijawab ada pada sektor fiskal. Peneliti CORE Yusuf Rendy Manilet mengatakan, pemerintah hasil Pemilu 2019 harus menyusun asumsi ekonomi makro yang lebih kredibel dibanding beberapa tahun terakhir.
Asumsi yang lebih kredibel dianggapnya bisa mempengaruhi rancangan penerimaan dan belanja negara. Yusuf mengatakan, jika asumsi makro selalu meleset maka hal itu akan berdampak pada pos-pos anggaran di APBN.
“[Dampak] salah satunya adalah penerimaan perpajakan. Selama 5 tahun terakhir perpajakan selalu tak pernah mencapai target dan selalu shortfall. Ketika shortfall itu akan berpengaruh pada belanja negara, karena perpajakan menyumbang 80 persen penerimaan negara,” ujar Yusuf.
Jika penerimaan pajak per tahun tidak sesuai target, pemerintah otomatis melakukan penyesuaian dengan cara efisiensi atau pemotongan anggaran. Kedua langkah itu bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi tahunan.
Selama 4 tahun terakhir, target pertumbuhan ekonomi Indonesia hampir tidak pernah tercapai. Realisasi target hanya terjadi pada 2017, ketika pertumbuhan ekonomi 5,1 persen sesuai APBN. Selain itu, pertumbuhan ekonomi selalu lebih rendah dari target di APBN.
Yusuf juga menyebut, seluruh kandidat harus menyoroti efektifitas insentif perpajakan untuk mendorong jumlah investasi penanaman modal asing (PMA). Menurutnya, guna mendorong arus PMA pemerintah tak bisa hanya mengandalkan insentif perpajakan, namun harus menghadirkan kepastian hukum, insentif moneter, dan kemudahan berusaha bagi penanam modal.
“Insentif pajak untuk industri memang tak bisa berdiri sendiri. Indikator seperti kepastian hukum, insentif moneter dan kemudahan berbisnis lebih penting,” ujarnya.
Perbaikan Data Kemiskinan
CORE juga mendesak para kandidat Pemilu 2019 membahas persoalan data kemiskinan di Indonesia, dan memperhatikan kualitas penyerapan tenaga kerja serta keberlanjutan bantuan sosial pascapemilu.
Peneliti CORE Akhmad Akbar Susamto mengatakan, meski tingkat kemiskinan beberapa tahun terakhir selalu turun namun trennya mengalami pelambatan. Untuk mempercepat penurunan tingkat kemiskinan, pemerintah perlu memperhatikan kelompok masyarakat yang masuk kategori rentan dan hampir miskin.
Per September 2018, tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 9,66 persen atau 25,7 juta orang. Jumlah itu menurun tipis dari angka pada September 2017 sebesar 10,12 persen atau 26,6 juta penduduk, dan 10,7 persen atau 27,8 juta orang miskin di September 2016.
“Sebenarnya yang harus diperhatikan adalah orang yang rentan miskin, hampir miskin. Rasio gini kita juga relatif masih tinggi meski bukan yang terburuk dalam beberapa tahun terakhir,” ujar Akbar.
Berdasarkan data BPS, per Maret 2018 ada 20,47 juta penduduk Indonesia masuk kategori hampir miskin. Kemudian, 44,43 juta orang masuk kategori rentan miskin.
Angka penduduk hampir miskin turun dari Maret 2017 yang sebesar 26,21 juta penduduk. Akan tetapi, jumlah orang rentan miskin naik dari 44,32 juta penduduk di periode yang sama.
Dia juga menyebut, pemerintah tak boleh meneruskan kebiasaan mengurangi jumlah bantuan sosial pascapemilu. Berdasarkan catatan CORE, selama ini pemerintah kerap memberi bantuan sosial dengan jumlah tinggi di beberapa tahun sebelum pemilu. Akan tetapi, penyaluran bansos berkurang pascapemilu.
DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN
Terakhir, para kandidat diharap bisa membahas persoalan tingginya suku bunga kredit dan defisit transaksi berjalan yang besar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Direktur Riset CORE Pieter Abdullah Redjalam mengatakan, tingginya suku bunga di Indonesia menyebabkan penyerapan kredit oleh pengusaha di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Berdasarkan data yang dihimpun CORE, pada 2017 tingkat kredit domestik di Indonesia hanya sebesar 38,7 persen dari total PDB.
Jumlah itu lebih rendah daripada tingkat kredit berbanding GDP di Filipina sebesar 47,7%, Vietnam sebesar 130,7 persen, Singapura sebesar 128,2 persen, dan Thailand yang mencapai 143,7 persen.
“Ini pemicu masalah di sektor lain. Kemudian, struktur ekonomi lemah. Kita sudah alami CAD (defisit transaksi berjalan) bertahun-tahun. Ini adalah PR yang tidak pernah dikerjakan secara tuntas. Dampaknya, nilai tukar rupiah jadi rapuh,” tuturnya.
Defisit transaksi berjalan pada 2018 mencapai US$31 miliar atau sekitar 2,98 persen terhadap PDB. Faktor yang memberatkan adalah impor barang modal untuk pembangunan infrastruktur yang mencapai US$6 miliar.
Angka defisit transaksi berjalan di Indonesia termasuk besar jika dibandingkan dengan hal serupa di Filipina (2,4 persen dari PDB). Bahkan, beberapa negara di Asean mengalami surplus transaksi berjalan pada 2018 seperti Vietnam, Singapura, Thailand, dan Malaysia.
“Kita mengalami CAD bertahun-tahun, kita terlena dan dibiarkan saja. Ini bagaimana kita selesaikan ini?” ujarnya.