Bisnis.com, JAKARTA - Defisit anggaran di sepanjang tahun ini diperkirakan melebar seiring dengan melesetnya asumsi makro di dalam APBN 2019.
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal memperkirakan harga minyak dunia di sepanjang tahun ini akan berada di kisaran US$64 per barel.
Perkiraan tersebut berada di bawah asumsi harga ICP yang ditetapkan pemerintah di dalam APBN 2019 senilai US$70 per barel.
Dengan demikian, perolehan penerimaan negara yang berasal dari PNBP serta pajak dari sektor migas beresiko lebih rendah dari ekspektasi.
"Artinya pendapatan pemerintah yang dipicu dari harga minyak itu bisa lebih rendah dari yang ditargetkan. Shortfall bisa saja terjadi dan mempengaruhi belanja negara," ujarnya di Jakarta, Selasa (9/4/2019).
Faisal mengungkapkan Rupiah dan target lifting juga dapat terdeviasi cukup jauh dari asumsi yang ditetapkan. Hal tersebut dapat menambah tekanan terhadap potensi penerimaan di sepanjang tahun ini.
Dengan demikian, dirinya memperkirakan efek windfall dari penerimaan migas seperti yang terjadi di sepanjang 2018 tak kembali terulang di tahun ini.
"Bisa dibilang tahun lalu APBN terselamatkan oleh windfall. Dengan situasi seperti sekarang, saya kira defisitnya sampai akhir tahun bisa melebar sampai 2,5% PDB," ujarnya.
Pemerintah menargetkan dapat menjaga dan mengelola defisit anggaran berada di bawah kisaran 2% di sepanjang tahun ini.
Di dalam APBN 2019, pemerintah memproyeksikan defisit anggaran sebesar 1,84% PDB atau senilai Rp296,0 triliun.
Sampai akhir Februari 2019, realisasi defisit anggaran tercatat mencapai 0,34% PDB atau senilai Rp54,61 triliun.
Realisasi defisit itu berasal dari selisih penerimaan negara senilai Rp217,21 triliun dengan belanja negara senilai Rp271,83 triliun.
Faisal menilai dalam kondisi tersebut, opsi pemerintah untuk mengerem belanja justru bukan menjadi pilihan yang bijak.
Dirinya mengungkapkan ketika menghadapi tekanan eksternal, pemerintah harus menjaga daya beli dan konsumsi domestik.
"Kalau melakukan pengetatan fiskal, justru itu dampaknya sangat negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Belanja harus tetap ekspansif, namun penerimaan perlu digali lebih optimal," ujarnya.