Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Batu Bara Acuan Sentuh Titik Terendah Sejak Agustus 2017

Memasuki kuartal II/2019, harga batu bara acuan (HBA) masih sulit keluar dari tren penurunan dan mencapai titik terendah sejak Agustus 2017.
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatra Selatan, Kamis (3/1/2019)./ANTARA-Nova Wahyudi
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatra Selatan, Kamis (3/1/2019)./ANTARA-Nova Wahyudi

Bisnis.com, JAKARTA - Memasuki kuartal II/2019, harga batu bara acuan (HBA) masih sulit keluar dari tren penurunan dan mencapai titik terendah sejak Agustus 2017.

Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, HBA April 2019 ditetapkan senilai US$88,85 per ton atau turun 1,9% dari HBA Februari 2019 senilai US$90,57 per ton.

Meskipun penurunan tersebut tidak signifikan, sejak September 2018, HBA terus terkikis dan belum pernah mencetak kenaikan bulanan. Terakhir kali HBA mencetak kenaikan bulanan pada Agustus 2018 ketika bertengger di level US$107,83 per ton.

Tren penurunan yang panjang tersebut membuat rata-rata HBA dalam empat bulan pertama tahun ini 'hanya' senilai US$90,91 per ton, jauh dari rata-rata HBA sepanjang tahun lalu yang mencapai US$98,96 per ton.

Nilai HBA April 2019 tersebut sekaligus menjadi yang terendah sejak Agustus 2017. Kala itu, HBA ditetapkan senilai US$83,97 per ton.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan sejak akhir Maret 2019, HBA bulan ini memang sudah diperkirakan turun. Hal tersebut berkaca pada nilai indeks pembentuk HBA, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), GlobalCOAL Newcastle Index (GCNC), dan Platss 5900 dengan bobot masing-masing 25%.

"HBA memang sepertinya masih turun. Penyebabnya ya mesti dari China," katanya, baru-baru ini.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan apapun kebijakan terkait batu bara di China pasti memengaruhi harga secara global. Pasalnya, China masih menjadi produsen sekaligus importir terbesar batu bara, khususnya dari Indonesia.

Dia menilai penurunan HBA kali ini lebih disebabkan turunnya harga batu bara kalori tinggi. Sementara untuk kalori menengah dan rendah, harga cenderung stabil.

"Salah satunya dampak dari batu bara Australia, yang kebanyakan kalori tinggi, susah masuk ke China sejak Februari. Demand dari sana turun ya harga ikut tertekan," ujarnya.

Menurutnya, ada tren permintaan untuk batu bara berkalori menengah dan rendah justru cukup positif. Hal tersebut bisa dimanfaatkan Indonesia sebagai eksportir batu bara thermal terbesar dunia.

"Demand untuk pembangkit listrik di Asia, khususnya Asean, masih positif ke depan. Di Vietnam misalnya, mereka bangun banyak PLTU dan sebagian 100% batu baranya minta dari Indonesia," tuturnya.

Adapun harga batu bara berkalori 4.200 kcal/kg yang banyak dipakai untuk PLTU sempat menyentuh level US$40 per ton pada bulan lalu. Harga tersebut terkoreksi ke kisaran US$36 per ton, namun diperkirakan tidak akan kembali jatuh ke bawah US$30 per ton seperti yang terjadi pada beberapa tahun lalu.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper