Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dibayangi 'Perang Dingin', Wamenkeu Nyatakan RI Tak Akan Condong ke AS atau China

Menurut Wamenkeu Thomas Djiwandono, penting bagi Indonesia untuk menjaga hubungan baik dengan AS dan China meskipun terjadi tensi tinggi akibat perang tarif.
Ilustrasi bendera China dan Amerika Serikat (AS). / Reuters-Florence Lo-illustration
Ilustrasi bendera China dan Amerika Serikat (AS). / Reuters-Florence Lo-illustration

Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono menyatakan pemerintah tidak akan condong ke Amerika Serikat atau China, meski geoekonomi dibayangi polarisasi akibat perang dagang antara dua negara perekonomian terbesar di dunia itu.

Tommy, sapaan Thomas Djiwandono, mengakui bahwa kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden AS Donald Trump ke negara-negara mitra dagangnya meningkat resiko dan ketidakpastian prospek perekonomian global.

Dia mencontohkan, sejumlah negara besar melakukan retaliasi dengan membalas tarif Trump tersebut. China menjadi yang paling mencolok.

Akibatnya, kini China mematok tarif bea masuk 125% atas barang-barang asal AS. Sementara itu, AS menaikkan tarif impor barang-barang China menjadi 145%.

Kendati demikian, Tommy menyatakan Indonesia tidak ingin terlibat dalam 'perang dingin' antara China-AS tersebut. Dia menegaskan Indonesia masih mengedepan diplomasi non-blok.

"Indonesia sebagai negara ekonomi berkembang yang besar memiliki hubungan perdagangan dan investasi yang erat dengan kedua negara tersebut," ujar Tommy dalam acara HSBC Summit 2025, Selasa (22/4/2025).

Keponakan Presiden Prabowo Subianto itu menjelaskan dalam lima tahun terakhir, China maupun AS selalu masuk ke dalam 5 besar investor di Indonesia.

China, sambungnya, berfokus ke investasi mineral dan energi. Sementara itu, AS banyak berinvestasi ke sektor farmasi dan barang konsumsi.

Oleh sebab itu, Tommy menegaskan pemerintah tidak akan memilih untuk condong ke salah satu negara melainkan tetap dekat dengan keduanya karena sama-sama penting untuk perkembangan ekonomi nasional.

"Sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk terus menjaga hubungan baik dengan kedua negara tersebut sebagaimana diamankan oleh konstitusi meskipun terjadi gejolak akibat perang tarif," jelasnya.

Lebih lanjut, Tommy mengungkapkan penerapan tarif Trump belakangan membuat terjadi pergeseran kerangka kerja sama antar negata.dari yang awalnya multilateral menjadi bilateral.

Masalahnya, kerja sama bilateral jauh lebih sulit tercapai karena ada ketimpangan kekuatan antar dua negara. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan melambat.

Hanya saja, dia menjelaskan fundamental ekonomi Indonesia masih cukup baik seperti pertumbuhan ekonomi yang terjadi di angka 5,03% pada tahun lalu, inflasi yang rendah di angka 1,03% secara tahunan pada Maret 2025, hingga surplus perdagangan dalam 59 bulan belakangan.

"Dalam jangka pendek, prospek Indonesia tetap positif, didukung oleh konsumsi rumah tangga yang kuat dan momentum kembalinya aktivitas manufaktur," jelas Tommy.

Keponakan Presiden Prabowo Subianto itu menjelaskan PMI Manufaktur mencatat angka sebesar 52,4 pada Maret 2025. Angka tersebut menjadi yang tertinggi sejak Juni 2024.

Menurut Tommy, terjadi peningkatan produksi dan permintaan baik di dalam maupun di luar negeri. Oleh sebab itu, dia menyimpulkan bahwa produsen tetap optimis atas prospek ekonomi Indonesia ke depan.

"Kita mengharapkan pertumbuhan output yang berkelanjutan sepanjang tahun 2025," ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper