Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta memilih salah satu dari produksi komoditas pangan utama yakni jagung atau beras untuk dipacu tahun ini karena ada fenomena El-Nino yang menghantui.
Maxdeyus Sola, Sekretaris Jendral Dewan Jagung Nasional, mengatakan mengatakan produksi jagung tahun ini belum tentu sebaik tahun lalu. Pasalnya ada dua faktor utama yang bisa mempengaruhi total produksi nasional yaitu cuaca dan minat petani.
"Produksi tahun ini mungkin baik [atau tidak] karena kita menghadapai musim kemarau dan El Nino. Kita tidak bisa mengatakan produksi sama dengan tahun lalu kalau tidak memaksakan [tanam] pada lahan tadah hujan yang biasa untuk menanam padi," katanya kepada Bisnis, baru-baru ini.
Sola menegaskan antara jagung dan padi harus ada yang dikorbankan salah satunya untuk menopang kebutuhan pangan dan pakan tahun ini, tapi pilihan yang paling rasional, lanjutnya adalah mengkonversi lahan tadah hujan ke jagung. Pasalnya pada saat kemarau komoditas palawija itu pasti akan mendapatkan harga yang baik.
Dengan begitu, otomatis pendapatan yang diterima petani pun membaik. "Daripada gagal di padi lebih baik tanam jagung saja, tapi konsekuensinya adalah berkurangnya produksi padi. Saya tergantung pengambil kebijakan dan petani melihat peluang," tegasnya.
Kendati demikian, Sola tetap teguh bahwa regulator seharusnya mengambil kebijakan agar produksi fokus pada peningkatan volume jagung. Pengalaman pada 2018 harga jagung sampai menyentuh Rp6.000/kg dan itu lebih menarik bagi petani. Dia pun menilai akan ada banyak petani yang mengkonversi tanamannya pada periode April-September.
Sola pun menambahkan sekalipun pakai sistem tumpang sari itu tidak akan maksimal produksinya. "Setelah tanam padi ini kan masuk Mei, kita tinggal lihat apabila el nino muncul dampak sawah tadah hujan pasti terganggu karena air pasti minim. Itu peluang untuk tanam jagung,"katanya.
Di sisi lain, dia berharap ada BUMN yang ikut terjun dalam bisnis perjagungan. Tapi dengan syarat jual belinya dalam bentuk komersil karena penggunaannya pun lebih kepada industri dibandingkan dengan konsumen akhir.
Masuknya BUMN, lanjutnya, berfungsi sebagai buffer stok mana kala cadangan menipis perseroan melepas cadangan yang dimiliki.
"BUMN harus lihat ini sebagai peluang bisnis daripada penugasan pemerintah. Kalau mereka distribusi per mei sampai akhir tahun harga bisa di atas Rp6.000/kg ke atas. Kalau misalnya beli saat panen raya Rp4.500/kg artinya BUMN akan mendapat margin ketika harga naik beda dengan penugasan serap beras," katanya.
Sementara itu terkait musim kemarau 2019, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal menyampaikan bahwa datangnya musim kemarau berkaitan erat dengan peralihan Angin Baratan (Monsun Asia) menjadi angin Timuran (Monsun Australia).
Peralihan peredaran angin monsun itu akan dimulai dari wilayah Nusa Tenggara pada Maret 2019, lalu wilayah Bali dan Jawa pada April 2019, kemudian sebagian wilayah Kalimantan dan Sulawesi pada Mei 2019 dan akhirnya Monsun Australia sepenuhnya dominan di wilayah Indonesia pada bulan Juni hingga Agustus 2019.
BMKG mengingatkan masyarakat agar mewaspadai wilayah-wilayah yang akan mengalami musim kemarau lebih awal yaitu di sebagian wilayah Nusa Tenggara Barat dan Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Riau serta Kalimantan Timur dan Selatan.
Kewaspadaan dan antisipasi dini juga diperlukan untuk wilayah-wilayah yang diprediksi akan mengalami musim kemarau lebih kering dari normalnya yaitu di wilayah NTT, NTB, Bali, Jawa bagian Selatan dan Utara, Sebagian Sumatera, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Merauke.
Secara umum puncak musim kemarau 2019 diprediksi akan terjadi pada bulan Agustus - September 2019.