Bisnis.com, JAKARTA – Anggaran pembiayaan perumahan dianggap tidak perlu dinaikkan melihat dari tahun-tahun sebelumnya yang tidak pernah habis.
Tahun ini, anggaran pembiayaan perumahan diturunkan dari tahun sebelumnya mencapai sekitar 260.000 unit menjadi hanya sekitar 170.000 unit. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), anggaran tersebut tidak perlu dinaikkan.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa dari kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yangs udah digulirkan tahun ini baru terserap 30%.
“FLPP saja baru 30%, SSB memang turun, tapi kalau permintaan menignkat pasti kami minta Menteri Keuangan untuk ditambah,” ungkapnya kepada Bisnis usai menghadiri Rapar Kerja Komisi V DPR di Jakarta, Senin (25/3).
Untuk skema lainnya, sambung Basuki, jika memang ada permintaan lebih akan kembali dilakukan pengecekan. Pasalnya tahun-tahun sebelumnya masih banyak yang tidak terserap habis sehingga harus diperhitungkan agar anggaran yang dikeluarkan bisa lebih efisien.
Tahun ini, untuk skema Subsidi Selisih Bunga (SSB) hanya dianggarkan 100.000, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tahun lalu ada 68.000, sedangkan dari program baru Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) sebanyak 14.000 unit.
“Kalau yang di FLPP-nya naik kan, kan anggarannya tahun lalu Rp3,1 triliun, kemudian sekarang Rp5,2 triliun, unitnya juga naik, dulu cuma sekitar 58.000-an , kalau sekarang 68.000,” jelas Budi Hartono, Direktur Utama Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP).
Sebelumnya, Ketua umum Himpunan Pengembang Perumahan dan Permukiman Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja mengatakan bahwa anggaran tahun ini mengkhawatirkan.
“Padahal tahun lalu ada total sekitar 255.000 – 260.000 unit, dari anggaran FLPP dan SSB yang tersedia 295.000 unit, berarti ada penurunan,” ungkapnya belum lama ini.
Endang menambahkan, pihaknya khawatir dengan jumlah anggaran saat ini diperkirakan seluruh unit bantuan tersebut bisa habis pada Juli – Agustus mendatang.
Himperra berharap pemerintah bisa mengembalikan dan memperbanyak lagi anggaran pembangunan lewat ketiga skema tersebut. Pasalnya, cicilan dengan skema untuk SSB saja sangat ringan, hanya Rp4 juta per tahun sehingga peminatnya dari masyarakat berpenghasilan rendah tinggi dan akan terus bertambah.
“Ini kalau habis, yang beli kan tetap ada, cuma pasti karena ngga ada subsidi jadi terasa agak mahal. Pasti terjadi drop di demand, kalau drop pasti ngga tercapai satu juta rumah,” ujarnya.
Mewakili pengembang, Endang berharap anggaran untuk pembangunan perumahan MBR tersebut ditingkatkan menjadi sekitar 265.000 sampai 270.000 unit saja, karena pihaknya khawatir usai pemilu tidak ada yang berfokus pada masalah ini dan akan memberatkan rakyat yang ingin membeli rumah.
“Makanya REI [Real Estate Indonesia], Apersi [Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia], dan Himperra mau mengingatkan bahwa anggaran ini perlu ditambah, kalau ngga nanti bulan Agustus bisa-bisa kasihan pengembang yang sudah bangun, rakyat sudah cicil uang muka, rumah sudah jadi, tapi ngga bisa akad. Nanti jadi cermin kalau pemerintah kurang perhatian,” lanjut Endang.