Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GP Farmasi) menghitung ketersediaan obat pada tahun lalu susut yakni 1%--2%. Asosiasi pun menyatakan fenomena tersebut jarang terjadi di industri farmasi. Mengapa bisa terjadi?
Direktur Eksekutif GP Farmasi Dorodjatun Sanusi mengatakan bahwa penyebab utama dari penurunan pertumbuhan ketersediaan tersebut adalah sistem pemesanan yang masih konvensional.
Menurutnya, proses penyerahan rencana kebutuhan obat (RKO) seharusnya sudah dilakukan secara digital.
“RKO tidak pernah beres. Di institusi yang melayani seluruh kepentingan masyarakat harusnya ada kerja sama lintas sektoral. Masalah IT ini jangan dikira masalah internet,” ujarnya, Senin (24/3/2019).
Dorojatun menambahkan asosiasi telah mengusulkan kepada rumah sakit untuk merampungkan RKO dan tender obat selambat-lambatnya pada Agustus mendatang untuk kebutuhan obat tahun depan. Adapun, RKO untuk ketersediaan obat pada tahun ini baru dirampungkan pada akhir 2018.
Asosiasi, mencatat akurasi RKO masih berada di kisaran 60%--70%.Untuk menaikkan presentase tersebut, Dorojatun berpendapat harus adanya integrasi dan transparansi sistem informasi mengenai stok obat di level fasilitas kesehatan, cabang distributor, dan pabrik.
Dorojatun berujar percepatan tersebut dilakukan agar ketersediaan obat bisa terjaga.
Selain dari pemesanan, Dorojatun mengutarakan minusnya ketersediaan obat juga disebabkan oleh keterlambatan pembayaran obat oleh rumah sakit. Dorojatun menyampaikan keterlambatan pembayaran didominasi oleh program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Menurutnya, biaya obat berkontribusi sebesar 25% dari total biaya JKN. Akan tetapi, ujarnya, industri farmasi masih memiliki piutang dalam program JKN sekitar Rp4 triliun.
Alhasil, sambungnya, industri farmasi menjadi tidak terlalu atraktif. Pasalnya, Dorojatun menghitung jumlah pabrik obat mengalami penurunan menjadi tinggal sekitar 2.000 pabrik.