Bisnis.com, JAKARTA – Ada empat alasan mengapa reformasi perpajakan diperlukan. Pertama, jumlah pajak yang sebenarnya diterima oleh negara tergantung pada efektivitas dan efisiensi administrasi perpajakan.
Kedua, kualitas administrasi perpajakan berpengaruh terhadap iklim investasi sektor swasta. Ketiga, instansi pajak dan bea cukai sering identik dengan korupsi. Keempat, reformasi perpajakan diperlukan karena dunia usaha dan penghindaran pajak semakin berkembang (Jit B.S. Gill, The Nuts and Bolts of Revenue Administration Reform, 2003).
Walaupun kajian Gill sudah 16 tahun berlalu, rasanya alasan itu masih relevan dengan kondisi perpajakan di Indonesia saat ini. Begitulah faktanya sekarang. Reformasi perpajakan sedang berjalan di instansi pajak kita (Direktorat Jenderal Pajak/DJP). Apakah baru tahun ini DJP melaksanakan reformasi perpajakan?
Berdasarkan data di DJP, reformasi perpajakan sudah dilakukan sejak 2002. Reformasi perpajakan jilid I tersebut berlangsung sampai dengan 2008.
Dalam periode tersebut DJP melakukan beberapa langkah perubahan seperti pembentukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) modern (KPP Pratama dan dua KPP Wajib Pajak Besar), amendemen Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan Pajak Penghasilan (PPh). Selain itu, diluncurkan program Sunset Policy (penghapusan sanksi administrasi pajak).
Setahun kemudian reformasi perpajakan jilid II dilaksanakan sampai dengan 2014. Di rentang waktu tersebut beberapa terobosan dilakukan seperti amendemen Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) serta adanya Sensus Pajak Nasional.
Laju perubahan DJP harus terus bergerak seiring berubahnya dunia usaha yang begitu cepat. Karena itu reformasi perpajakan menjadi sebuah keniscayaan. Perbaikan yang berkelanjutan (continuous improvement) harus terus dilakukan agar DJP tidak berada di belakang dan tertinggal.
Tonggak reformasi perpajakan berikutnya adalah dengan lahirnya Undang-Undang No. 11/2016 Tentang Pengampunan Pajak. Pengampunan pajak atau Tax Amnesty dimulai pada Juli 2016 dan berakhir Maret 2017. Selama masa itu DJP mendapatkan uang tebusan sebesar Rp114,54 triliun (Laporan Tahunan DJP 2017).
Untuk menyukseskan reformasi perpajakan, Kementerian Keuangan mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 885 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Tim Reformasi Perpajakan. Ada tiga hal yang menjadi fokus reformasi perpajakan saat ini, yaitu pertama, organisasi dan sumber daya manusia.
Kedua, teknologi informasi, basis data, dan proses bisnis, dan ketiga, peraturan dan perundang-undangan.
Masalah utama yang dihadapi DJP adalah tren tidak tercapainya penerimaan pajak. Selama 2010 sampai dengan 2018 rata-rata pendapatan pajak hanya berkisar 90% dari target. Pada 2016, realisasi penerimaan pajak hanya Rp1.105 triliun atau 81%.
Sementara itu, porsi tertinggi terjadi pada 2011, jumlahnya sebesar Rp743 triliun dari target Rp763 triliun atau 97%. Bagaimana dengan 2018? Satu tahun menjelang pemilu DJP berhasil mengumpulkan Rp1.315 triliun (92% dari target).
Pendapatan negara dari sektor pajak di 2019 ditargetkan sebesarRp1.577,5 triliun atau naik 20% dari realisasi 2018. Bisakah target tersebut dicapai di tahun politik ini? Bisa ya, bisa juga tidak.
Ada tiga hal penting yang harus ada agar reformasi perpajakan berjalan di atas rel dan mencapai tujuan. Pertama, perlunya political will yang kuat. Salah satu topik yang diangkat dalam reformasi perpajakan saat ini adalah mengenai peraturan perpajakan.
Sudah sekitar tiga tahun pemerintah dan DPR membahas undang-undang pajak yang baru. Faktanya, di 2019 ini UU yang diharapkan membawa DJP bisa beradaptasi dengan dinamika dunia usaha belum juga terbit.
Bahkan di tahun politik ini pembahasan UU tersebut ditunda sampai hajatan pesta demokrasi selesai. Biasanya setahun setelah pemilu adalah fase konsolidasi politik baik bagi pemegang kuasa maupun oposisi. Dengan begitu agak mustahil mengharapkan UU yang sifatnya krusial seperti UU pajak itu lahir segera setelah pemilu usai.
Selain itu, permasalahan terkait dengan data juga masih menjadi batu sandungan bagi gerak langkah DJP ke depan. Sebenarnya pemerintah sudah mempunyai PP Nomor 31 Tahun 2012 Tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi Perpajakan.
Namun, masih ada kendala di lapangan yang harus diselesaikan seperti mensinergikan data dari pemerintah daerah dan instansi lain. Sebagian data yang ada hanya menjadi koleksi dan susah untuk diolah. Diperlukan manajemen data nasional yang handal dari proses input data, pengolahan hingga menghasilkan data dan/atau informasi yang bisa dianalisis.
Di titik legislasi dan data inilah diperlukan sikap para negarawan yang kuat dan berani.
Kedua, kepatuhan dan kesadaran wajib pajak yang tinggi. Berdasarkan laporan tahunan DJP 2017, disebutkan bahwa jumlah WP berjumlah 39.151.603 WP. Komposisinya adalah 90,78% merupakan WP orang pribadi, disusul 7,95% WP badan, dan sisanya 1,28% WP bendahara.
Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah angkatan kerja per Februari 2018 sebanyak 133,94 juta orang. Ini artinya masih banyak orang pribadi belum masuk dalam sistem perpajakan.
Selain itu, kepatuhan WP yang ada saat ini masih rendah. Tingkat kepatuhan formal WP menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) 2017 sebesar 72,64%. Persentase ini lebih baik dari tahun sebelumnya yang hanya 60,82%.
Dari jumlah tersebut, WP yang melaksanakan kepatuhan secara material (membayar/menyetor pajak) lebih rendah lagi. Sistem pajak di Indonesia menganut self assessment. Oleh karena itu, salah satu faktor tercapai atau tidaknya target pajak adalah kejujuran dan kesadaran WP.
Ketiga, pelayanan dan kinerja insan pajak yang mumpuni. Berdasarkan hasil survei Kepuasan Pengguna Layanan Kementerian Keuangan, DJP memperoleh skor Indeks Kepuasan Layanan sebesar 4,27 dari skala 5,00.
Melihat hasil survei tersebut tentunya perbaikan pelayanan DJP harus terus ditingkatkan. Pelayanan prima akan berdampak pada meningkatnya kepatuhan WP.
Dunia usaha telah bergerak begitu dinamis. Penghindaran pajak juga semakin canggih. Para insan pajak diharapkan mampu mengimbangi dua hal tersebut. Integritas menjadi salah satu kunci, selain profesionalisme para pegawai pajak dalam bekerja saat ini.
Sebentar lagi rakyat Indonesia akan memilih presiden dan anggota legislatif. Suka atau tidak, di tangan mereka arah kebijakan negara ini diputuskan, termasuk urusan pajak. Oleh karena itu, kepada siapa amanah rakyat dipercayakan, kepada merekalah nasib reformasi perpajakan ditentukan.
Kepada para calon pemimpin negeri, ingatlah semua janji dan program Anda butuh uang pajak dari masyarakat. Pertanyaan judul tulisan di atas, Andalah yang akan menjawabnya.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (21/3/2019)